Oleh Djadja Raharja

    A. Pengertian Pendidikan Luar Biasa

    Dalam Encyclopedia of Disability (2006:257) tentang pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak dengan kelainan.

    Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa penyandang cacat tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Mungkin dia memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan, layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar; seorang siswa dengan cacat fisik mungkin memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus; seorang siswa dengan kesulitan belajar mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain, seorang siswa dengan kelainan pada aspek kognitifnya mungkin akan memperolah keuntungan dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama dengan guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.

    Pendidikan luar biasa diibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana siswa penyandang cacat, meskipun berada di sekolah umum, diberi garansi untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi maksimalnya. Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran kontemporer menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk program layanan di rumah bagi anak-anak prasekolah penyandang cacat, kelas khusus di sekolah umum, atau sekolah khusus untuk siswa-siswa yang gifted dan berbakat. Pendidikan luar biasa bisa diberikan di kelas-kelas pendidikan umum. Individu-individu penyandang cacat hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya lainnya. Juga harus selalu diingat, bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kecacatannya, dan pusatkan perhatian pada apa yang dapat mereka lakukan daripada pada apa yang tidak dapat mereka lakukan.

    B. Sejarah
    Yang mendasari sikap masyarakat dunia sekarang ini terhadap individu penyandang cacat adalah berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para philosof, aktivis, dan humanitarian Eropa. Dedikasi mereka sebagai pembaharu dan rintisan pemikirannya menjadikan mereka sebagai katalisator perubahan. Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad ke-delapan belas atau awal abad ke-sembilan belas.
     
    Salah satu dokumen yang pertama kali mencoba menggambarkan pendidikan luar biasa adalah upaya yang dilakukan oleh seorang dokter Perancis bernama Jean Marc-Gaspard Itard (1775-1838) dengan mendidik Victor anak berusia 12 tahun, yang selanjutnya disebut “anak liar dari Aveyron”. Menurut cerita rakyat, Victor ditemukan oleh sekelompok pemburu di hutan dekat kota Aveyron. Ketika ditemukan, dia tidak berpakaian, tidak berbahasa, berlari tapi tidak berjalan, dan menunjukkan perilaku seperti binatang. Itard, sebagai ahli penyakit telinga dan mengajar anak-anak muda dengan ketunarunguan, mencoba pada tahun 1799 “mendidik” Victor. Dia mencoba mengajar Victor melalui program latihan sensori dan apa yang sekarang ini disebut modifikasi perilaku. Karena kedewasaannya tersebut Itard tidak berhasil mengembangkan bahasa secara utuh setelah lima tahun dedikasinya dan seluruh pembelajarannya, dan hanya terbiasa dengan keterampilan dasar sosial dan menolong diri. Itard menganggap usahanya tersebut gagal. Tetapi kemudian dia mampu menunjukkan bahwa belajar masih memungkinkan bagi individu yang digambarkan tidak mempunyai harapan dan idiot. Gelar “Bapak Pendidikan Luar Biasa” tepat diberikan kepada Itard karena inovasi pekerjaanya pada 200 tahun yang lalu. Pionir yang berpengaruh lainnya adalah murid Itard bernama Edouard Seguin (1812-1880). Dia mengembangkan program pembelajaran bagi anak muda yang oleh para ahli lainnya diidentifikasi tidak mempunyai kemampuan untuk belajar. Seperti halnya sang mentor Itard, Seguin dipengaruhi oleh pentingnya aktifitas sensorimotor sebagai alat bantu untuk belajar. Metodologinya berdasar pada asesmen yang komprehensif dari kekuatan dan kelemahan siswa bersamaan dengan pembuatan perencanaan secara berhati-hati latihan sensomotor yang dirancang untuk remediasi kelainan khusus. Seguin juga merealisasikan nilai pendidikan usia dini; dia disebut sebagai orang yang pertama dalam melakukan intervensi dini. Ide dan teori Seguin, yang dia gambarkan dalam bukunya berjudul Idiocy and Its Treatment by the Physiological Method, merupakan dasar untuk Maria Montessori melakukan pekerjaan kemudian dengan urban yang miskin dan anak-anak dengan ketunagrahitaan. Pekerjaan Itard, Seguin, dan para pembaharu lainnya pada waktu itu membantu mewujudkan dasar-dasar untuk banyak praktek dewasa ini dalam pendidikan luar biasa. Contoh dari berbagai kontribusi tersebut termasuk di dalamnya pembelajaran individual, penggunaan teknik reinforcement positif, dan keyakinan bahwa semua anak dapat belajar.
     
    Pada tahun 1948, Seguin berimigrasi ke Amerika Serikat, dimana dalam beberapa tahun kemudian dia membantu mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama American Association on Mental Retardation. Seorang Amerika, Reverend Thomas Hopkins Gallaudet (1787-1851) melakukan perjalanan ke Eropa, dimana dia belajar tentang teknik-teknik yang mutakhir dan inovasi untuk mengajar anak-anak tunarungu. Setelah dia kembali ke negaranya, dia berusaha membantu untuk mendirikan American Asylum for the Education of the Deaf and Dumb di Hartford, Conecticut. Fasilitas ini didirikan pada tahun 1817, merupakan sekolah berasrama yang pertama di Amerika Serikat dan sekarang ini dikenal dengan sebutan American School for the Deaf, Universitas Gallaudet, merupakan lembaga pendidikan seni bagi siswa dengan ketunarunguan, nama tersebut diperuntukkan bagi kontribusinya. 
     
    Berikut ini ringkasan pekerjaan yang dilakukan oleh para pemikir dan aktifis Eropa dan Amerika yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan luar biasa.

    Para Pionir yang Berkontribusi padaPengembangan Pendidikan Luar Biasa (Gargiulo, 2006)
    Jacob Rodrigues Pereine 1715 – 1718
    Memperkenalkan pemikirannya bahwa orang-orang dengan ketunarunguan dapat diajari berkomunikasi. Mengembangkan bentuk awal dari bahasa isyarat. Memberikan inspirasi dan dorongan untuk pekerjaan Itard dan Seguin.
    Phillippe Pinel 1775 – 1826
    Seorang dokter Perancis yang mempunyai perhatian terhadap perawatan humanitarian individu dengan sakit mental. Mendukung pelepasan pasien dari institusi yang membelenggunya. Sebagai pionir dalam occupational therapy. Berperan sebagai mentor Itard.
    Jean Marc-Gaspard Itard 1775 – 1838
    Seorang dokter Perancis yang kemudian menjadi terkenal karena upaya yang sistematisnya dalam mendidik dewasa yang diperkirakan tunagrahita berat. Menemukan pentingnya stimulasi sensori.
    Thomas Gallaudet 1787 – 1851
    Mengajari anak-anak dengan ketunarunguan berkomunikasi mempergunakan sistem isyarat manual dan simbol. Mendirikan lembaga yang pertama di Amerika.
    Samuel Gridley Howe 1801 – 1876
    Seorang dokter Amerika dan pendidik yang menjadi terkenal secara internasional karena keberhasilannya dalam mengajar individu dengan ketunanetraan dan ketunarunguan. Mendirikan fasilitas berasrama yang pertama bagi tunanetra dan aktif memberikan penghargaan pada lembaga pemerhati anak-anak dengan ketunagrahitaan.
    Dorothea Lynde Dix 1802 – 1887
    Dix merupakan orang Amerika pertama yang meraih juara terbaik dan menangani lebih manusiawi mereka yang sakit mental. Berinisiatif mendirikan berbagai institusi bagi individu-individu dengan kelainan mental.
    Louis Braille 1809 – 1852
    Seorang pendidik Perancis, tunanetra, yang mengembangkan sistem perabaan untuk membaca dan menulis bagi orang tunanetra. Sistem dia, berdasar pada sel berupa enam buah titik timbul, yang masih dipergunakan sampai sekarang. Kode yang baku ini dikenal sebagai Braille Inggris Standar.
    Edouard Seguin 1812 – 1880
    Murid dari Itard, Seguin merupakan seorang dokter Perancis yang bertanggung jawab dalam mengembangkan metoda mengajar bagi anak-anak dengan ketunagrahitaan. Latihannya menekankan pada aktifitas sensomotoris. Setelah berimigrasi ke Amerika Serikat, dia membantu mendirikan organisasi yang disebut American Association on Mental Retardation.
    Francis Galton 1822 – 1911
    Ilmuwan yang konsern dengan perbedaan individu. Sebagai hasil dari mempelajari orang terkenal, dia percaya bahwa kejeniusan hanya sebagai hasil dari keturunan. Bahwa kemampuan superior adalah dilahirkan bukan dibuat.
    Alexander Graham Bell 1847 – 1922
    Pionir pendukung mendidik anak-anak dengan kelainan di sekolah umum. Sebagai seorang guru bagi siswa dengan ketunarunguan. Bell memperkenalkan penggunaan sisa pendengaran dan mengembangkan keterampilan berbicara pada siswa dengan ketunarunguan.
    Alfred Binet 1857 – 1911
    Psikolog Prancis yang mengkontruksi pertama kali skala asesmen perkembangan standar yang mampu menentukan angka inteligensi. Tujuan orisinil dari tes ini adalah mengidentifikasi siswa yang mempunyai kemungkinan keuntungan dari pendidikan luar biasa dan bukan mengklasifikasikan individu berdasar pada kemampuannya. Juga menemukan usia mental dengan siswanya Theodore Simon.
    Maria Montessori 1870 – 1952
    Dikenal di seluruh dunia untuk kepionirannya bekerja dengan anak-anak muda dengan ketunagrahitaan. Perempuan pertama yang memperoleh gelar dokter di Itali. Ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Menunjukkan bahwa anak-anak mampu untuk belajar pada usia sangat awal kalau dikelilingi oleh bahan-bahan manipulatif dalam lingkungan yang kaya dan mendukung. Keyakinannya bahwa anak-anak belajar dengan baik melalui pengalaman langsung sensoris.
    Lewis Terman 1877 – 1956
    Seorang pendidik Amerika dan psikolog yang merevisi instrumen asesmen asli Binet. Hasilnya berupa publikasi Stanford-Binet Simon Scale of Intelligence pada tahun 1916. Terman mengembangakn ide tentang intelligence quotient, atau IQ. Juga terkenal untuk studi jangka panjangnya tentang individu-individu gifted. Disebut sebagai kakeknya pendidikan anak-anak gifted.

    Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB). Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi: (1) SLB bagian A untuk anak tunanetra, (2) SLB bagian B untuk anak tunarungu, (3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, (4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, (5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan (6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Selain itu dilakukan juga berbagai upaya, salah satunya adalah sosialisasi dan implementasi pendidikan inklusif.

    Konsep pendidikan terpadu diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 oleh Helen Keller International, Inc. Ketika itu HKI membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka sekolah terpadu bagi anak tunanetra. Keberhasilan proyek itu menyebabkan dikeluarkannya SK Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat, yang pada intinya mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan dapat diterima bersekolah di sekolah reguler. Sayangnya, setelah proyek pendidikan terpadu itu berakhir, implementasi pendidikan terpadu itu semakin mundur, terutama di tingkat sekolah dasar. Akan tetapi menjelang akhir tahun 90-an muncul upaya baru untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dengan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Dengan implementasi pendidikan inklusif diharapkan lebih banyak anak berkebutuhan khusus usia sekolah akan mendapatkan kesempatan bersekolah. Pendidikan guru untuk PLB yang pertama, Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), didirikan di Bandung pada tahun 1952, dengan lama pendidikan dua tahun. Pada mulanya SGPLB diperuntukkan bagi guru-guru yang sudah berpengalaman mengajar di SD dan berizasah SGB. Dalam perkembangan selanjutnya, input SGPLB adalah tamatan SLTA, dan lulusannya dihargai sejajar dengan sarjana muda. Ketika SGPLB dilikuidasi pada tahun 1994, di seluruh Indonesia terdapat enam SGPLB (Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar dan Padang). Likuidasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi guru PLB menjadi sekurang-kurangnya berizasah S1. Program S1 PLB yang pertama di Indonesia dibuka di IKIP Bandung (sekarang UPI) pada tahun 1964. Beberapa tahun kemudian beberapa IKIP dan perguruan tinggi lain juga membuka jurusan PLB. Kini sembilan universitas di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, memiliki jurusan PLB.

    Pada tahun 1996 UPI membuka konsentrasi Bimbingan Anak Khusus pada program studi Bimbingan dan Penyuluhan di Program Pasca-Sarjana sebagai upaya merintis dibukanya program studi PLB pada jenjang S2. Pada tahun 2004 program studi ini menjadi mandiri dengan nama Program Studi Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus.

    C. Kebijakan
    Seluruh warganegara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang mengemukakan, bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
    Pada tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, sebagai berikut:

    1. Bab I Pasal 1 (18) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
    2. Bab III Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
    3. Bab IV Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, (3) Warganegara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4) Warganegara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
    4. Bab V Pasal 12 (1) huruf b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, huruf d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, huruf e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, dan huruf f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
    5. Bab VI Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
    6. Bab VI, Bagian Kesebelas, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
    7. Bab VIII Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, dan (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
    8. Bab X Pasal 36 (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
    Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan luar biasa, baik untuk tingkat SDLB, SMPLB, maupun SMALB.

    Selain dari beberapa perundangan dan peraturan yang dikemukakan di atas, masih ada kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dituangkan dalam bentuk visi dan misi sebagai berikut:
    VISI 
    Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
    MISI
    - Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi
    - Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau ketrampilan yang memadai.
    - Meningkatkan kemampuan manajerial para pengelola, pembina, pengawas, guru, dan tenaga pendidikan lainnya.
    - Memperluas jejaring (network) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan luar biasa. (Dit. PSLB, 2006)

    Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional. Beberapa diantaranya adalah:
    - 1948 Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia – termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang – PBB.
    - 1989 Konvensi tentang Hak Anak (PBB, dipublikasikan tahun 1991)
    - 1990 Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992)
    - 1993 Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994)
    - 1994 Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995)
    - 2000 Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO).

    Pada bulan Oktober 2002 kelompok kerja Asia dan Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk 10 tahun yang akan datang. BMF mengidentifikasi tujuh prioritas sebagai berikut: (1) organisasi swadaya penyandang cacat dan asosiasi keluarga dan orang tua, (2) perempuan penyandang cacat, (3) deteksi dini, intervensi dini, dan pendidikan, (4) pelatihan dan penempatan kerja, termasuk wirausaha, (5) akses dalam lingkungan dan transportasi, (6) akses dalam informasi dan komunikasi, termasuk teknologi informasi, komunikasi dan alat bantu, serta (7) mengurangi kemiskinan melalui Capacity-Building, keamanan sosial, dan program kehidupan berkelanjutan (Takamine, Y., 2004)

    D. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa

    Berikut ini akan dikemukakan beberapa kecenderungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini.

    Pendidikan Inklusif
    Tidak ada topik dalam pendidikan luar biasa yang mempunyai dampak yang luas atau mengakibatkan banyaknya kontroversi selain inklusi. Banyak definisi tentang inklusi bermunculan, kebanyakan dari definisi tersebut berfokus pada seting dimana para siswa dengan kelainan menerima pendidikan mereka. Inklusi adalah suatu sistem yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah sebagai masyarakat belajar – guru, administrator, staf lainnya, siswa, dan orang tua – tentang tanggung jawabnya untuk mendidik semua siswa sehingga mereka dapat mencapai potensinya semaksimal mungkin. Meskipun lokasi fisik siswa di sekolah atau kelas ada dalam satu dimensi inklusifitas, inklusi bukan tentang dimana siswa duduk seperti halnya teman sekelasnya yang menerima mereka untuk sama-sama mendapatkan akses kuriklum dan menerima keanekaragaman siswa, di dalam sekolah sekarang dikatakan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua anak. Inklusi meliputi para siswa yang gifted dan berbakat, mereka yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka, mereka yang berkelainan, dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu sistem yang dipercaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari semua staf.

    Beberapa ahli mengatakan bahwa hanya dengan cara ini sekolah dapat menunjukkan sistem inklusif dimana seluruh siswa dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan umum. Menurut mereka tanpa dengan pendekatan ini sebagian anak akan terpisah selama-lamanya karena mereka tidak dapat terpenuhi standar akademik sebagaimana mestinya. Mereka juga mengemukakan, bahwa para siswa berada di sekolah baik mengikuti kurikulum eksplisit maupun implisit. Kurikulum eksplisit adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses oleh para siswa yang berkelainan, sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum yang termasuk di dalamnya interaksi sosial dan berbagai keterampilan yang sangat baik dipelajari bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Para ahli meyakinkan bahwa dengan guru yang kompeten, dukungan dan layanan yang mencukupi, serta komitmen yang kuat dapat menjamin setiap siswa berhasil dengan tidak memerlukan tempat pendidikan yang terpisah. Para ahli tersebut menyarankan bahwa banyak siswa yang memerlukan kelas dengan ukuran lebih kecil, metoda pembelajaran khusus, dan untuk sebagian siswa perlu adanya kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan hidup yang dapat diberikan dalam kelas khusus untuk sebagian atau pun seluruh waktu sekolah.

    Akuntabilitas dan Aksesibilitas Pembelajaran

    Akuntabilitas untuk pembelajaran dewasa ini juga dilihat dari adanya akses anak dengan kelainan terhadap kurikulum yang dipergunakan oleh anak-anak pada umumnya. Meskipun pada waktu dulu, para ahli umumnya berpikiran bahwa kebanyakan siswa dengan kelainan hendaknya mempunyai kurikulum yang khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka, tetapi pada umumnya sekarang mereka mendukung bahwa semua siswa dengan kelainan sedekat mungkin hendaknya belajar dari kurikulum yang sama dipergunakan oleh siswa yang lain dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Hal tersebut merupakan suatu keseimbangan yang logis dalam prinsip-prinsip inklusi: Jika tujuan pendidikan bagi siswa adalah keberhasilan usia dewasa nanti untuk dapat hidup, bekerja, dan bermain di dalam masyarakat kita, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meyakinkan bahwa seluruh anak mestinya mempunyai akses yang sama terhadap belajar awal secepat mungkin ketika mereka masuk sekolah. Apabila kurikulum tidak sama, siswa dengan kelainan ditempatkan secara kurang menguntungkan.

    Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa dengan kelainan mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan.

    Meskipun desain universal ini dapat dipergunakan dalam kebutuhan pembelajaran khusus bagi siswa berkelainan dalam seting sekolah umum, tetapi pendidikan luar biasa juga mempunyai pembelajaran khusus sebagai ciri, dan siswa memerlukannya. Misalnya, banyak pandangan terhadap bagaimana siswa belajar membaca. Bagi siswa dengan kesulitan yang bergelut dengan membaca, para ahli dengan jelas telah menemukan bahwa anak-anak seperti ini sering mempunyai masalah dalam mendengar pemisahan ucapan kata-kata dan membeda-bedakan kata-kata tersebut. Jadi penekanan bagi anak seperti ini adalah dalam penggunaan pendekatan membaca dalam seting satu lawan satu atau kelompok kecil yang intensif.

    Dimensi lain dari akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran adalah penggunaan alat bantu teknologi, yang merupakan alat dan layanan yang dapat meningkatkan kemampuan fungsi siswa dengan kelainan. Ketika anda bekerja di sekolah, anda mungkin akan melihat siswa menggunakan alat bantu komunikasi khusus, bola yang bisa berbunyi bagi siswa tunanetra, atau alat-alat yang lainnya. Alat bantu teknologi tidak selalu berupa elektronik, tetapi juga termasuk di dalamnya membantu siswa dengan alat pemegang pensil khusus sehingga dia bisa menulis secara lebih mudah, gambar-gambar buatan guru yang dapat ditempelkan di jadwal untuk menunjukan kegiatan siswa yang akan dilakukan selama satu hari itu, dan sebagainya.

    Dukungan Perilaku yang Positif
    Beberapa anak dengan kelainan mempunyai perilaku yang mengganggu atau tidak berperilaku secara sesuai dengan teman-teman pada umumnya di dalam kelas. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk mengatakan maksudnya meminta bantuan, mungkin akan mengekspresikan rasa frustrasinya dengan mendorong temannya. Dulu perilaku tersebut dianggap sebagai suatu bentuk konsekuensi negatif. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda. Sekarang para ahli mempergunakan dukungan perilaku positif yang terintegrasi dalam perencanaan intervensi perilaku. Mereka melihat perilaku siswa dalam konteks situasi dimana hal itu terjadi, secara hati-hati menentukan apa yang terjadi dalam rangka merancang cara untuk mengurangi perilaku negatif, meningkatkan perilaku yang diinginkan, dan membantu siswa memiliki kualitas akademik dan sosial yang lebih baik dalam kehidupannya. Di dalam contoh dimana seorang siswa mendorong temannya, para ahli akan menganalisis masalah serius tersebut, dan memahaminya dengan baik, kemudian mereka akan menentukan intervensinya. Mereka mungkin akan mencoba mencegah rasa frustrasi siswa dengan memberikan penugasan yang tidak terlalu sulit atau dengan kata lain membantu siswa untuk terhindar dari situasi frustrasi. Mereka juga mungkin mengajarkan kepada para siswa cara terbaik untuk mengekspresikan rasa frustrasinya, mungkin dengan mengajarkan kepada siswa untuk mengatakan „Tolong saya....“ dan memberikan penghargaan kepada siswa untuk perilaku yang sesuai atau dapat diterima. Mereka juga bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam merancang program perilaku siswa, sehingga ada konsistensi antara pendekatan di sekolah dan di rumah.

    Kolaborasi
    Jika anda berpikir konsep inklusi sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dan merespon kebutuhan siswa, anda mungkin akan memperkirakan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif akan bergantung pada pekerjaan guru dan orang tua secara bersamaan. Tidaklah mengejutkan, bahwa kolaborasi menjadi suatu dimensi yang krusial dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lainnya dan orang tua atau anggota keluarga seperti mereka bekerja bersama-sama dalam mendidik siswa dengan kelainan. Kolaborasi bukanlah sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan tujuan yang akan dicapai.

     
    BAB I KARAKTERISTIK BELAJAR ANAK TUNALARAS

    Karakteristik berarti ciri-ciri yang menonjol dijumpai pada sekelompok benda, atau manusia. Karakteristik belajar anak tunalaras berarti ciri-ciri belajar yang menonjol yang dimiliki oleh anak tunalaras. Dengan kata lain adalah bagaimana ciri-ciri yang ditampilkan pada anak tunalaras dalam belajarnya. Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras memiliki karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda dengan kelompok anak luar biasa yang lain ataupun anak normal. Perbedaan karakteristik tersebut muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Diketahui bahwa ketidakmatangan sosial dan atau emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan terhambat.

    Sebagai gambaran tentang bagaimana karateristik belajar anak tunalaras (emotional disturbed) berikut ini disarikan beberapa hal yang diungkapkan oleh Cruickshank (1980) dalam bukunya Psychology of Exceptional Children and Youth.

    Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai siswa, maka karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar, yang membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frekuensi lebih tinggi dan selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah, prestasi rendah,dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca dan matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ; Kvaraceus, 1961 ; Scarpitti, 1964). Berkaitan dengan karakteristik belajar anak tunalaras menurut Cruickshank paling tidak terdapat tiga isu yang menarik, yaitu :
    Pertama, kecenderungan bahwa pada anak tunalaras terdapat kesenjangan antara kemampuan potensial mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya. Salah satu yang turut mewarnai kesenjangan prestasi tersebut adalah sifat-sifat pribadi dan perilaku anak tunalaras itu sendiri. Hasil studi dari Taylor (1964) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tujuh faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap prestasi anak, yaitu : (1) Kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, (2) Perasaan harga diri, (3) Konformitas terhadap tuntutan otoritas, (4) Penerimaan kelompok sebaya, (5) Kurangnya konflik dan sifat ketergantungan, (6) Keterlibatan dalam aktivitas akademik, dan (7) Kemampuan dalam merancang tujuan yang realistik. Dikatakan bahwa pada anak tunalaras cenderung kurang memiliki beberapa kemampuan diatas. Kedua, bahwa masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunalaras adalah sebagai manifestasi dari problem emosionalnya. Hal ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Ketiga, berkenaan dengan ditemukannya anak-anak berbakat dan kreatif yang juga tunalaras, namun secara dramatik mengalami kesenjangan antara potensi dengan prestasinya. Menurut Kimball (1953, dalam Cruickshank, 1980) rendahnya prestasi belajar mereka berhubungan dengan kesulitan mereka dalam berhubungan dengan orang tuanya, perilaku yang ekstrim pasif, perilaku agresi fisik terhadap benda-benda disekitarnya, dan perasaan rendah diri. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa para guru yang telah bekerja dengan anak pada umumnya menyadari bahwa anak-anak tunalaras pada umunya tidak mampu membaca dan tidak mampu mencurahkan energi yang cukup untuk mempelajari keterampilan tersebut. Bahkan tidak hanya dalam membaca saja tetapi juga dalam hal kemampuan aritmatika. Kondisi ini tidak hanya dijumpai pada anak-anak tunalaras emosi tetapi juga pada anak tunalaras sosial.

    ,


    I.                   KISI-KISI INSTRUMEN ASESMEN PERKEMBANGAN
    USIA 3-4 TAHUN

    ASPEK
    INDIKATOR
    ITEMS
    1. Motorik Kasar
    1. Berjalan dengan tingkat keseimbangan yang baik
    1.1.1 Berjalan jinjit
    1.1.2 Berjalan di ubin
    1.1.3 Berjalan mengikuti garis lurus
    1.1.4 Berjalan mundur 10 langkah
    2. Melompat dengan tingkat keseimbangan yang baik
    1.2.1 Melompat dengan dua kaki
    1.2.2 Melompat dengan satu kaki
    1.2.3 Melompat ke samping
    1.2.4 Jongkok lalu melompat sejauh       ±  15 cm
    3. Koordinasi mata dan tangan
    1.3.1 Melempar benda kecil ke atas
    1.3.2 Menangkap bola
    1.3. 3 Memasukan bola kecil ke dalam botol/wadah
    1.3.4 Makan sendiri
    (1.3.4.1) Makan dengan menggunakan tangan
    (1.3.4.2) Makan dengan menggunakan sendok

    1.3.5 Memakai pakaian
    (1.3.5.1) Memasukan baju
    (1.3.5.2) Mengancigkan baju
    (1.3.5.3) Melepas kancing
    (1.3.5.4) Melepaskan baju
    4. Koordinasi mata dan kaki
    1.4.1 Menendang bola
    1.4.2 Naik turun tangga dengan pegangan
    1.4.3 Naik turun tangga tanpa pegangan
    1.4.4 Naik turun tangga dengan kaki kiri dan kanan secara bergantian
    5. Koordinasi kaki dan tangan
    1.5.1 Memakai sepatu sendiri
    (1.5.1.1) Memakai kaos kaki
    (1.5.1.2) Mampu memakai sepatu
    (1.5.1.3) Mengikatkan tali sepatu/merekatkan sepatu
    (1.5.1.4) Membuka sepatu

    1.5.2 Mengendarai sepeda roda tiga

    2. Motorik Halus
    1. Memegang pensil secara tepat
    2.1.1 Memegang pensil/krayon dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah
    2.1.2 Membuat garis lurus
    2. Dapat membuat coretan-coretan di kertas
    2.2.1 Mencoret kertas dengan krayon
    2.2.2 Mewarnai gambar dengan spidol/krayon
    3. Dapat menirukan suatu gambar sederhana
    2.3.1 Menirukan gambar lingkaran
    2.3.2 Meniru bentuk bangun datar
    4. Memotong kertas
    2.4.1 Memotong kertas dengan gunting tanpa pola
    2.4.2 Memotong pola sederhana dengan gunting (pola persegi, lingkaran, dll)
    5. Tangan lentur dan luwes
    2.5.1 Melipat kertas menjadi dua
    2.5.2 Meremas kertas
    2.5.3 Menempel kertas warna-warni
    2.5.4 Mengambil dan meletakkan bola dari dalam wadah

    3. Bahasa

    Ekspresif
    3.1 Menggunakan kalimat sederhana



    3.2 Mampu bercerita







    3.4 Menyebutkan objek di sekitar







    3.5 Menyebutkan nama orang-orang sekitar

    3.1.1 Menggunakan kalimat yang terdiri dari 3-6 kata
    3.1.2 Banyak bertanya untuk mengetahui sesuatu

    3.2.1 Mampu bercerita
    3.2.2 Mengucapkan nama sendiri
    3.2.3 Mengutarakan keinginan secara verbal misalnya ”saya mau makan”
    3.2.4 Mampu bertanya dengan kata tanya

    3.4.1 Menyebutkan nama-nama binatang dalam gambar (minimal 3 gambar)
    3.4.2 Menyebutkan macam-macam warna (minimal 3 macam)
    3.4.3 Menyebutkan satu atau dua nama objek/benda yang ada di sekitar
    3.4.4 Menyebutkan nama-nama anggota tubuh (minimal 3 macam)

    3.5.1 Mengenal nama teman sepermainan
    3.5.2 Menyebutkan nama anggota keluarga (minimal 2 nama)

    Reseptif
    3.6 Melaksanakan instruksi sederhana

    3.7 Mematuhi larangan orang tua

    3.6.1 Melaksanakan instruksi sederhana, misalnya “tepuk tangan” atau ”pegang hidung”, dll.
    3.6.2 Jangan main ke jalan raya!
    3.6.3 Jangan berkelahi dengan teman!
    3.6.4 Jangan mengambil barang teman!
    4. Sosial
    4.1 Membaur dengan teman
    4.1.1 Mengajak temannya untuk bermain
    4.1.2 Menjawab pertanyaan teman
    4.1.3 Bekerjasama dalam permainan kelompok
    4.1.4 Mengenal mainan milik temannya
    4.1.5 Mau berbagi dengan temannya

    4.2 Respon positif terhadap stimulus yang diberikan
    4.2.1 Tersenyum sebagai respon terhadap perhatian yang diberikan orang lain kepadanya
    4.2.2 Menghampiri bila dipanggil namanya
    4.2.3 Menghargai orang lain
    4.2.4 Meraih benda yang diberikan
    4.3 Menunjukkan kasih sayang
    4.3.1 Menunjukkan rasa kasih sayang pada orang sekitar, misalnya membelai adik, mencium ibu
    4.3.2 Menggandeng tangan orang tua (Ibu) bila berjalan di luar rumah
    5. Emosi
    5.1 Marah
    5.1.1 Mengamuk pada situasi tertentu
    5.1.2 Menunjukkan sikap marah bila keinginannya tidak dipenuhi
    5.1.3 Menunjukan sikap marah apabila aktivitasnya diganggu
    5.2 Senang
    5.2.1 Tersenyum bila mendapat barang/benda yang disukainya
    5.2.2 Ikut senang ketika teman senang
    5.2.3 Menunjukkan rasa senang pada orang atau benda tertentu
    5.3 Takut
    5.3.1 Menunjukkan sikap takut pada suatu objek, orang atau pada bunyi tertentu
    5.3.2 Menunjukan sikap takut  pada suatu rangsangan atau sentuhan tertentu
    5.4 Sedih
    5.4.1 Menunjukkan sikap sedih bila kehilangan orang atau benda yang disayangi
    5.5 Kasih sayang
    5.5.1 Menunjukkan rasa sayang terhadap anggota keluarganya

    5.6 Perubahan ekspresi
    5.6.1 Perubahan ekspresi saat diberi mainan
    5.6.2 Perubahan ekspresi saat mainannya diambil
    6. Kognitif Memori
    6.1 Menyampaikan pesan
    6.1.1 Menyampaikan pesan dari guru ke anak lain
    6.2 Mengingat
    6.2.1 Mengenal benda milik orang lain
    6.2.2 Hafal nama temannya
    6.2.3 Mengenal orang lain selain keluarga terdekat
    6.2.4 Mengingat 3 buah benda yang dilihat pada gambar
    6.2.5 Mengenal wajah orang tua dari foto
    6.3 Meniru
    6.3.1 Mampu meniru pekerjaan sederhana (menyimpan buku di rak, menyapu, dll)
    7. Kognitif Persepsi Visual
    7.1 Membedakan ukuran
    7.1.1 Ukuran panjang dan pendek
    7.1.2 Ukuran besar dan kecil
    7.1.3 Ukuran luas dan sempit
    7.2 Membedakan warna
    7.2.1 Menyebutkan warna
    7.2.2 Mengelompokkan warna
    7.3 Membedakan bentuk
    7.3.1 Mencoret gambar yang sama dalam gambar
    7.4 Menyambungkan garis
    7.4.1 Menyambungkan garis yang terputus menjadi garis nyata
    8. Kognitif Persepsi Auditori
    8.1 Respon saat dipanggil
    8.1.1 Anak dapat mengetahui arah datangnya suara ketika namanya dipanggil
    8.1.2 Anak dapat memberikan respon ketika namanya dipanggil
    8.2 Pengenalan suara
    8.2.1 Anak dapat mengenali suara yang ada di lingkungannya
    8.2.2 Anak dapat membedakan bunyi suara binatang sekitar

    8.3 Pengenalan anggota tubuh
    8.3.1 Menunjukkan bagian-bagian tubuh dengan telunjuk, (misalnya hidung, mata, bibir, dll)

    8.4 Pengulangan bunyi/suara
    8.4.1 Anak dapat mengulang bunyi/suara yang diperdengarkan
    8.5 Menjawab pertanyaan sederhana
    8.5.1 Anak dapat menjawab pertanyaan sederhana dari cerita yang dibacakan
    8.6 Mengetahui panjang pendek kata
    8.6.1 Anak dapat membedakan panjang pendek suatu kata
    9. Kognitif Persepsi Taktil dan Kinestetik
    9.1 Membedakan melalui indra peraba
    9.1.1 Anak dapat membedakan kasar dan halus
    9.1.2 Anak dapat membedakan lembek dan keras
    9.1.3 Anak dapat membedakan panas dan dingin
    9.2 Rasa sakit
    9.2.1 Anak dapat memberikan respon terhadap rasa sakit
    9.3 Gesture
    9.3.1 Anak dapat mengambil benda yang diberikan
    9.3.2 Anak mampu menggenggam ketika jari telunjuk diletakkan di atas telapak tangannya
    9.3.3 Anak mampu menolehkan, menggelengkan dan menganggukkan kepala
    II.                INSTRUMEN ASESMEN PERKEMBANGAN USIA 3-4 TAHUN

    ASPEK MOTORIK
    Motorik Kasar
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Berjalan jinjit






    2.
    Berjalan diubin






    3.
    Berjalan mengikuti garis lurus






    4.
    Berjalan mundur 10 langkah






    5.
    Melempar benda kecil ke atas






    6
    Menangkap bola






    7.
    Melompat dengan dua kaki






    8.
    Melompat dengan satu kaki






    9.
    Jongkok lalu melompat sejauh ± 15 cm






     10.
    Menendang bola






    11.
    Bertepuk tangan sesuai aba-aba






    12.
    Makan Sendiri:
    - Makan dengan menggunakan tangan
    - Makan dengan menggunakan sendok






    13.
    Memakai Pakaian sendiri
    - Memasukan baju
    - Mengancingkan baju
    - Membuka kancing
    - Melepaskan baju






    14.
    Naik turun tangga dengan pegangan






    15.
    Naik turun tangga tanpa pegangan






    16.
    Naik turun tangga dengan kaki kiri dan kanan secara bergantian






    17.
    Memakai sepatu sendiri
    - Memakai kaos kaki
    - Mampu memakai sepatu
    - Mengikatkan tali sepatu/merekatkan sepatu
    - Membuka sepatu






    18.
    Mengendarai sepeda roda tiga






    Motorik Halus
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Memegang pensil/krayon dengan ibu jari, telunjuk dan jari tengah






    2.
    Mencoret-coret kertas dengan krayon (lembar tugas)






    3.
    Mewarnai gambar dengan spidol/krayon (lembar tugas)






    4.
    Menirukan gambar lingkaran (lembar tugas)






    5.
    Meniru bentuk bangun datar (persegi, lingkaran (lembar tugas)






    6.
    Membuat garis lurus






    7.
    Melipat kertas menjadi dua






    8.
    Meremas kertas






    9.
    Menempel kertas warna-warni (lembar tugas)






    10.
    Memotong kertas dengan gunting tanpa pola (lembar tugas)






    11.
    Memotong pola sederhana dengan gunting (pola persegi dan lingkaran) (lembar tugas)






    12.
    Mengambil dan meletakkan bola dari dalam wadah






    13.
    Menunjukkan bagian-bagian tubuh dengan telunjuk, misalnya hidung, mata, bibir, dll.







    BAHASA EKSPRESIF
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Menggunakan kalimat yang terdiri dari 3-6 kata
    Contoh : Tadi pagi saya minum susu






    2.
    Banyak bertanya untuk mengetahui sesuatu
    Contoh: Ini apa?, siapa?






    3.
    Mampu bercerita
    Contoh: mampu menceritakan cerita binatang seperti “Si Kancil” dengan media cerita bergambar






    4.
    Mengucapkan nama sendiri






    5.
    Menyebutkan nama-nama binatang dalam gambar (minimal 3 gambar) (Lembar tugas)






    6.
    Menyebutkan macam-macam warna (minimal 3 macam)






    7.
    Menyebutkan satu atau dua nama objek/benda yang ada di sekitar






    8.
    Mampu bertanya dengan kata tanya






    9.
    Mengenal nama teman sepermainan






    10.
    Menyebutkan nama anggota keluarga (minimal 2 nama)






    11.
    Menyebutkan nama-nama anggota tubuh (minimal 3 macam)






    12.
    Mengutarakan keinginan secara verbal misalnya ”saya mau makan”







    BAHASA RESEPTIF
    13.
    Melaksanakan instruksi sederhana, misalnya “tepuk tangan” atau ”pegang hidung”, dll






    14.
    Mematuhi larangan orangtua
    Seperti:
    - Jangan main ke jalan raya!
    - Jangan berkelahi dengan teman!
    - Jangan mengambil barang teman!







    SOSIAL
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Tersenyum sebagai respon terhadap perhatian yang diberikan orang lain kepadanya






    2.
    Mengajak temannya untuk bermain






    3.
    Menjawab pertanyaan teman






    4.
    Menghampiri bila dipanggil namanya






    5.
    Menghargai orang lain






    6.
    Menunjukkan rasa kasih sayang pada orang sekitar, misalnya membelai adik, mencium ibu






    7.
    Menggandeng tangan orang tua (Ibu) bila berjalan di luar rumah






    8.
    Meraih benda yang diberikan






    9.
    Mengerti perintah “tidak boleh” atau “jangan”






    10.
    Bekerjasama dalam permainan kelompok






    11.
    Mengenal mainan milik temannya






    12.
    Mau berbagi dengan temannya







    EMOSI
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    Ya
    Tidak
    Ket.
    1.
    Mengamuk pada situasi tertentu
    Contoh : Mengamuk ketika menangis



    2.
    Tersenyum bila mendapat barang/benda yang disukainya



    3.
    Menunjukkan rasa sayang terhadap anggota keluarganya



    4.
    Ikut senang ketika teman senang



    5.
    Menunjukkan rasa senang pada orang atau benda tertentu



    6.
    Menunjukkan sikap marah bila keinginannya tidak dipenuhi



    7.
    Menunjukan sikap marah apabila aktivitasnya diganggu



    8.
    Menunjukkan sikap sedih bila kehilangan orang atau benda yang disayangi



    9.
    Menunjukkan sikap takut pada suatu objek, orang atau pada bunyi tertentu



    10.
    Menunjukan sikap takut  pada suatu rangsangan atau sentuhan tertentu.



    11.
    Perhatikan apakah terjadi perubahan ekspresi pada anak saat diberikan mainan?



    12.
    Perhatikan apakah terjadi perubahan ekspresi pada anak saat mainannya diambil?




    KOGNITIF
    Memori
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Mengenal benda milik orang lain (minimal 2)






    2.
    Hafal nama temannya (minimal 2 nama)






    3.
    Mengenal orang lain selain keluarga terdekat






    4.
    Menyampaikan pesan dari guru ke anak lain






    5.
    Mengingat 3 buah benda yang dilihat pada gambar (lembar tugas)






    6.
    Mampu meniru pekerjaan sederhana (menyimpan buku di rak, menyapu, dll)






    7.
    Berikan anak gambar-gambar berupa kucing, foto ibunya, ikan, boneka. Kemudian tanyakan pada anak apakah mengetahui gambar-gambar tersebut atau tidak? Tanyakan pada mereka siapakah yang ada di foto tersebut! (lembar tugas gambar binatang)







    Persepsi Visual
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Berikan pada anak sebuah pensil yang berukuran pendek dan panjang. Tanyakan pada anak manakah pensil yang lebih panjang atau pensil yang lebih pendek, lihat apakah anak mengetahuinya?






    2.
    Mampu menunjukkan mana kubus yang lebih besar dan mana yang lebih kecil






    3.
    Tunjukkan pada anak kertas  berwarna (warna dasar). Minta anak mengambil satu yang warnanya paling ia sukai. Tanyakan padanya warna apakah itu? Tanyakan juga warna kertas yang lain






    4.
    Berikan pada anak persegi dengan berbagai warna, minta anak mengelompokkan persegi berdasarkan warnanya!






    5.
    Tunjukkan pada anak: (lembar tugas)
    Minta anak melingkari gambar yang sama dengan gambar pada kotak kiri!






    6.
    Minta anak untuk menyambungkan titik-titik dalam kotak agar menjadi sebuah garis nyata (lembar tugas)






    7.
    Bawa anak ke ruangan yang luas kemudian bawa anak ke ruangan yang lebih sempit. Tanyakan pada anak mana ruangan yang lebih luas dan mana yang lebih sempit.







    Persepsi Auditori
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Apakah anak dapat mengetahui arah datangnya suara ketika namanya dipanggil






    2.
    Ketika nama anak dipanggil, apakah anak dapat memberikan respon






    3.
    Anak diperdengarkan suara lalu anak di suruh unutk mengulang suara tersebut






    4.
    Ketika anak diperdengarkan suara anjing, apakah anak mampu mengenali suara tersebut






    5.
    Apakah anak dapat mengenali suara yang berada di lingkungannnya (suara ibu, bapak, atau kakak)






    6.
    Apakah anak dapat menjawab pertanyaan sederhana dari cerita yang dibacakan (lembar tugas)






    7.
    Apakah anak dapat membedakan panjang pendek suatu kata (lembar tugas)







    Persepsi Taktil dan Kinestetik
    No.
    Pernyataan/Pertanyaan
    4
    3
    2
    1
    0
    Ket.
    1.
    Berikan anak kain flanel dan amplas. Tanyakan pada anak, apakah kedua benda tersebut sama atau tidak kemudian tanyakan mana objek yang lebih halus dan mana objek yang terasa kasar?






    2.
    Berikan anak minuman yang hangat dan dingin kemudian tanyakan pada anak mana minuman yang hangat dan mana yang terasa dingin. Lihat! Apakah anak dapat mampu membedakannya?






    3.
    Tutup mata anak, tekanlah telapak tangan anak dengan pensil, lihatlah apakah anak menunjukkan reaksi.






    4.
    Perhatikan! Apakah ia berusaha mencoba dan meraih benda dengan tangannya ketika diberikan mainan atau minuman kesukaannya?






    5.
    Berikan pada anak spons dan batu. Tanyakan pada anak mana objek yang lembek dan mana yang keras.






    6.
    Mampu menggenggam ketika jari telunjuk diletakkan di atas telapak tangannya






    7.
    Mampu menolehkan kepala
    Mampu menggelengkan kepala
    Mampu menganggukkan kepala











    III.             KRITERIA PENILAIAN

    Berilah tanda checklist () pada:
    -    Skor 4 (Empat), bila anak  melakukan sendiri.
    -    Skor 3 (Tiga), bila anak  melakukan dengan sedikit pertolongan
    -    Skor 2 (Dua), bila anak melakukan dengan pertolongan seperlunya              
    -    Skor 1 (Satu), bila anak melakukan dengan pertolongan sepenuhnya
    -    Skor 0 (Nol), bila anak tidak dapat melakukan


                                                    Skor perolehan
    Skor akhir = -----------------------------  x  100%  = …
                      Skor maximal




    Skor
    Kemampuan
    90 % - 100 %
    Sangat Baik
    70 % - 89 %
    Baik
    50 % - 69 %
    Kurang
    30 % - 49 %
    Sangat Kurang
    < 30 %
    Buruk




                                                                                                    Bandung,  Oktober 2010
    Mengetahui,                                                                          
    Dosen                                                                                      Praktikan                  


               
    NIP.                                                                                        NIM.
    DAFTAR PUSTAKA

    Departeman Kesehatan RI. (2002). Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta.

    Hadriyanto, Radix. (2010). Sosialisasi DDTK Milestone Perkembangan Balita dan Anak Sekolah. Surabaya.

    Hurlock, E. (1993). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
    Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

    Oberlander, June R. (2009). Slow and Steady Get Me Ready. Jakarta.

    Syamsu, Y. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT.
    Remaja Rosda Karya OFFSET




Top