SEO BLOG & TEMPLATES
-
Tunadaksa/gangguan gerekan/kelainan anggota tubuh Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (t...
-
A. Definisi Low vision 1. Definisi low vision berdasarkan kuantitas pengukuran tajam pen...
-
I. KISI-KISI INSTRUMEN ASESMEN PERKEMBANGAN USIA 3-4 TAHUN ASPEK INDIKATOR ...
-
PENGANTAR Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bahan ...
-
1. Identitas Anak Nama Lengkap : Kireina Saiwana Riffa Nama Panggilan ...
-
Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi I. Tujuan Asesmen Pendidikan anak tunarungu merupakan proses yang kompleks. Penempatan y...
-
Oleh Amalia (PLB UPI 08) Anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak tunarungu, bisa berkembang menjadi manusia dewasa yang mandiri dan b...
-
1. Sejarah Singkat Pendidikan Tunanetra di Dunia Sekolah pertama bagi anak tunanetra di Eropa d...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara s...
Arsip Blog
Categories
- Autis (2)
- Belajar dan Pembelajaran ABK (1)
- Form Upload File (1)
- Sejarah PLB (1)
- Stimulasi dan Intervensi (2)
- Tugas-Tugas (3)
- Tunadaksa (1)
- tunagrahita (1)
- Tunalaras (1)
- Tunanetra (4)
- Tunarungu (4)
- UMUM (10)
- Kemarahan besar yang diekspresikan secara verbal (misal kata-kata kasar, adu mulut) atau fisik (merusak barang, berkelahi, )
- Kecemasan berlebihan, yaitu ketakutan yang tak berhubungan dengan sekolah, ketakutan berpisah dengan orangtua, kecemasan berada di tengah orang asing bagi dirinya.
- Depresi, memisahkan diri dari orang lain, sedih, pesimis tentang masa depan, kehilangan minat pada aktivitas yang dulu digemari, mengubah berat badan, pola tidur, merasa bersalah dan tidak berharga, dan tak mampu membuat keputusan.
- Perilaku melarikan diri, seperti fantasi atau berkhayal berlebih-lebihan, terlalu obsesi pada televisi dan video games tentang petualangan.
- Perilaku menantang bahaya, misalnya tertarik akan ketinggian, kekerasan dan aktivitas melanggar hukum.
UMUM
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak dengan kebutuhan
khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan (fisik,
mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan
pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami
kelainan tertentu, tetapi kelainan tersebut tidak signifikan sehingga mereka
tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak
dengan kebutuhan khusus.
Ada bermacam-macam jenis anak dengan
kebutuhan khusus, salah satunya yaitu kesulitan belajar atau Learning
Disabilities (LD = ketidakmampuan belajar). Gangguan kesulitan belajar
(learning disabilities/ LD) merupakan salah satu permasalahan yang banyak
ditemui dalam dunia pendidikan. LD menyangkut ketidak mampuan siswa untuk
menyelesaikan tugas-tugas akademiknya secara tepat. LD adalah kondisi yang
dialami siswa berkait dengan adanya hambatan, keterlambatan dan ketertinggalan
dalam kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Siswa yang berkesulitan belajar
adalah siswa yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik
khusus maupun umum, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses
psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga presatsi belajarnya rendah
dan anak beresiko tinggi tinggal kelas.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami
oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan
yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa
disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai,
bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang
sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Menurut Hallahan et al (dalam Abdurahman,
M, 1999) jumlah anak berkesulitan belajar meningkat secara dramatis. Hallahan
dan Kauffman (1988) mengungkapkan bahwa prevalensi LD sangatlah bervariasi,
dari 1% hingga 30%. Secara umum, prevalensi kesulitan belajar mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Prevalensi anak kesulitan belajar pada sekolah umum di
Amerika Serikat pada tahun 1976-1977 sebesar 1,8 % (Lyon, dkk., 2001). Hallahan
dan Kauffman (1988) mengemukakan bahwa menurut US Department of Education,
4,73% populasi usia sekolah mengalami kesulitan belajar pada tahun 1985-1986.
Lyon, dkk. (2001) menyebutkan bahwa pada tahun 1997-1998, prevalensi kesulitan
belajar mencapai 5,2%. Hal ini setara dengan yang dikemukakan oleh Graziano
(2002) bahwa pada tahun 1996 diperkirakan 5-6% anak sekolah usia 6 hingga 18
tahun di Amerika Serikat mengalami kesulitan belajar.
Dari pemaparan di atas jelas terlihat bahwa LD merupakan kondisi yang dapat dialami oleh siswa, dengan prevalensi yang cenderung meningkat. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya kemampuan siswa dalam menguasai tujuan belajar yang harus dicapainya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hasil belajarnya. Sebagai akibatnya adalah adanya kendala dalam kelancaran proses belajar. Banyak siswa yang mengulang disebabkan karena mereka mengalami LD secara akademis.
Dari pemaparan di atas jelas terlihat bahwa LD merupakan kondisi yang dapat dialami oleh siswa, dengan prevalensi yang cenderung meningkat. Hal tersebut berdampak pada terhambatnya kemampuan siswa dalam menguasai tujuan belajar yang harus dicapainya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hasil belajarnya. Sebagai akibatnya adalah adanya kendala dalam kelancaran proses belajar. Banyak siswa yang mengulang disebabkan karena mereka mengalami LD secara akademis.
B.Tujuan Pembuatan
Laporan
Pembuatan laporan ini bertujuan untuk
sebagai berikut :
1. Memahami
karakteristik anak berkesulitan belajar.
2. Memahami
layanan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak berkelitan belajar.
3. Sebagai
rekomendasi bagi guru dan orang tua siswa dalam memberikan bimbingan kepada
anaknya, untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
C. Metode Identifikasi
Metode yang digunakan dalam identifikasi
anak berkesulitan belajar ini adalah metode observasi yang dilakukan di sekolah
anak tersebut, dengan mengamati segala kemampuan dan kekurangan yang berkaitan
dengan proses pembelajarannya, mengumpulkan data dan informasi, baik dari guru
yang bersangkutan maupun teman sebayanya.
D. Sistematika Penulisan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penulisan.
B. Tujuan Penulisan.
C. Metode Identifikasi.
D. Sistematika
Penulisan.
BAB
II KAJIAN TEORI
A. Pengertian anak berkesulitan belajar.
B. Karakteristik
Anak Berkesulitan Belajar.
C. Penyebab
Kesulitan Belajar.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Identitas anak.
B.
Inti Masalah.
C.
Bantuan yang direncanakan.
D.
Pelaksanaan Bantuan.
E.
Hasil yang diperoleh
F.
Analisis.
BAB IV
KESIMPULAN
A. KesimpulanB. Rekomendasi
C. Penutup
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A. Pengertian
Anak Berkesulitan Belajar (Learning Disability).
Anak
berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu
atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau
gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata
dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja,
berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut
bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi,
gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan,
budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Kelompok anak LD
dicirikan dengan adanya gangguan-gangguan tertentu yang menyertainya.
Gangguan-gangguan tersebut adalah gangguan latar-figur, visual-motor,
visual-perseptual, pendengaran, intersensori, berpikir konseptual dan abstrak,
bahasa, sosio-emosional, dan konsep diri. Gangguan aktivitas motorik, persepsi,
perhatian, emosionalitas, simbolisasi, dan ingatan. Sedangkan ditinjau dari
aspek akademik, kebanyakan anak LD juga mengalami kegagalanyang nyata dalam
penguasaan keterampilan dasar belajar, seperti dalam membaca, menulis dan atau
berhitung. Kemampuan intelektual dapat berpengaruh luas terhadap berbagai
kemampuan manusia, terutama dalam prilaku belajarnya. Sementara itu dua masalah
utamayang dihadapi anak LD adalah masalah akademik dan masalah pribadi-sosial.
Berdasarkan ini diduga kuat bahwa paduan antara keunggulan intelektualyang
dimiliki dan kesulitan belajar yang dihadapi dapat melahirkan karaktersitik
sendiri yang berbeda dengan anak-anak LD pada umumnya. Secara potensial, anak
LD yang memiliki inteligensi di atas rata-rata adalah sumber daya manusia
unggul bagi pembangunan bangsa dan negara. Karena itu mereka mendapat
perhatianyang lebih serius dalam upaya mengatasinya. Namun demikian, dalam
praktek pendidikan di lapangan, khususnya di sekolah dasar, sangat mungkin
terjadi guru mengalami berbagai kesulitan dalam membantu siswanyayang termasuk
LD.
B.
Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar.
Jika ditilik lebih jauh ada tiga jenis kesulitan
belajar yang dialami anak antara lain, menyangkut kemampuan membaca
(disleksia), kemampuan menulis (disgrafia), dan kemampuan berhitung
(diskalkulia).
1. Disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti ”sulit dalam” dan lex berasal dari legein, yang artinya ”berbicara”. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti ”sulit dalam” dan lex berasal dari legein, yang artinya ”berbicara”. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Gejalanya,
anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari
tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan
otak mengolah dan memproses informasi tersebut. “Disleksia merupakan kesalahan
pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau
tulisan,” kata Lody.
Jika
pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh
tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang
mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak
memasuki bangku sekolah dasar. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
·
Sulit mengeja dengan
benar. Satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan ...bermacam
ucapan.
·
Sulit mengeja kata atau suku kata yang
bentuknya serupa, misalnya b-d, u-n, ...atau
m-n.
·
Ketika membaca anak
sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya ....atau
tidak berurutan.
·
Kesulitan mengurutkan
huruf-huruf dalam kata.
Kesalahan
mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata ”pelajaran” diucapkan
menjadi ”perjalanan”.
Menurut ahli psikolog pendidikan anak, hal lain yang bisa diamati adalah respon anak ketika diajak belajar membaca. Mimik wajahnya menjadi tegang dan sering menolak atau menangis saat disodorkan buku. “Ketidakmampuan ini sebenarnya disadari oleh anak, sehingga dia menjadi takut untuk membaca terutama jika mendapat tekanan dari lingkungannya,” ujar dosen pendidikan pada Universitas Negeri Jakarta ini.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak
terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya.
Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat ‘disembuhkan’. “Hal paling
penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena
pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak
disleksia,” jelas Lody.
Untuk
menentukan metode belajar yang cocok untuk anak disleksia, Evita menjelaskan,
orangtua harus berkomunikasi dalam bentuk konkrit dengan anak menggunakan
bantuan benda-benda atau gerak tubuh. Misalnya ketika bertanya “apakah kamu
suka jeruk?’ sodorkan buah jeruk kepadanya dan biarkan dia memegangnya.
Disarankan
Anda harus sering melatih pengucapan anak atau mendatangkan terapis yang ahli
di bidang linguistik. Selain itu, cobalah penerapan metode VAKT (Visual
Auditori Kinestetik Tactil) yang melibatkan rangsangan panca indera anak.
Misalnya ketika anak membaca, biarkan anak melihat, mendengarkan, meraba
tulisan dan menggerakkan tubuh mengikuti alur cerita. “Pada metode ini karena
indera bekerja aktif anak akan lebih mudah mengingat dan memahami apa yang
dibacanya,” terang Lody.
2.Disgrafia
Perlu dipahami disgrafia bukan disebabkan karena tingkat inteligensi yang rendah, kemalasan atau keterlambatan proses visual motoriknya. Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak tangannya ketika menuliskan angka atau huruf. Kesulitan ini dapat menghambat proses belajar anak, terutama ketika anak berada di bangku SD. Mereka sulit menuliskan kata-kata yang diucapkan guru atau saat pelajaran mendikte.
Perlu dipahami disgrafia bukan disebabkan karena tingkat inteligensi yang rendah, kemalasan atau keterlambatan proses visual motoriknya. Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak tangannya ketika menuliskan angka atau huruf. Kesulitan ini dapat menghambat proses belajar anak, terutama ketika anak berada di bangku SD. Mereka sulit menuliskan kata-kata yang diucapkan guru atau saat pelajaran mendikte.
Untuk
mengetahui apakah anak mengalami disgrafia atau tidak, ada beberapa ciri-ciri
umum, yaitu :
·
Bentuk huruf tidak
konsisten (sering berubah).
·
Sulit memegang alat
tulis dengan mantap. Pulpen atau pensil sering terlepas dari tangan. Hal ini
bisa dikarenakan anak gugup atau tegang.
·
Sering salah menulis
kata-kata (dilakukan berulang-ulang). Misalnya menuliskan ‘kepala’ menjadi
‘kelapa’ atau ‘taman’ menjadi 'tangan'.
·
Tetap mengalami
kesulitan meski hanya menyalin tulisan saja.
·
Terlalu memfokuskan
pada tangannya ketika menulis. Sehingga terkadang tidak memperhatikan kata-kata
yang ditulisnya.
·
Anak sulit
menginterpretasikan ide, perasaan atau pesan melalui …...tulisan.
3. Diskalkulia
Yakni gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis, yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Biasanya anak juga tidak memahami proses matematis, yang ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak diskalkulia sulit mendapatkan konsep perhitungan yang tepat, baik soal cerita maupun soal hitungan turunan.
Yakni gangguan pada kemampuan kalkulasi secara sistematis, yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan kalkulasi. Biasanya anak juga tidak memahami proses matematis, yang ditandai dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak diskalkulia sulit mendapatkan konsep perhitungan yang tepat, baik soal cerita maupun soal hitungan turunan.
C.
Penyebab Kesulitan
Belajar
Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua factor,
internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disability)
adlah factor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsy neurologis, sedangkan
penyebab utama problema belajar (learning problem) adalah factor eksternal,
yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru. Pengelolan kegiatan
belajar yang tidak membangkitkan motivasi pembelajaran anak, dan pemberian
ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan
kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tuna grahita dan gangguan
emosio\nal. Berbagai factor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang
pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain:
a. Faktor
genetik
b. Luka
pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen.
c. Biokimia
yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat).
d. Biokimia
yang merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan).
e. Pencemaran
lingkungan (misal pencemaran timah hitam).
f. Gizi
yang tidak memadai
g. Pengaruh-pengaruh
psikologis dan social yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan).
Dari berbagai penyebab
tersebut dapat menimbulkan gangguan dari yang tarafnya ringan hingga yang
tarafnya berat.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Identitas
Anak
Nama : Sri Fitriannisa
TTL : Bandung, 28 Desember 2000
Alamat : Kebonjayanti No. 13 Rt 01/04
Kelas : 3 SD
Asal Sekolah : SDN SUKAPURA 4
B. Inti
Masalah
Inti
masalah yang dihadapi anak ini adalah masalah lambat dalam membaca, menulis dan
berhitung. Masalah motivasi dalam belajar yang sangat rendah, kurangnya kepercayaan dan harga diri, masalah
tingkah laku yang menetap dan kekurangan dalm pengingatan atau dalam hal
memori. Dari maslah-masalah yang muncul ini mengakibatkan anak sulit dalam
mencapai prestasi yang di harapkan, karena sesungguhnya anak ini memiliki
potensi yang sangat baik.
C. Bantuan
yang direncanakan
1. Diagnostik mengatasi kesulitan
belajar
Diagnosis merupakan upaya untuk
menemukan faktor-faktor penyebab atau
yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya.
yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya.
Tes dignostik kesulitan belajar
sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta
tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang
esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal
aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran
semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku
siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk
menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana tindakan remidial.
Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang
mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau
pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau
meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala
kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
2. Mengidentifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Mengidentifikasi siswa yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah mengidentifikasi
siswa yang mengalami kesulitan belajar;
a. Menandai siswa dalam satu kelas atau
dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat
umum maupun khusus dalam bidang studi.
b. Meneliti nilai ulangan yang
tercantum dalam “record academic” kemudiandibandingkan dengan nilai rata-rata
kelas atau dengan kriteria tingkat
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
c. Menganalisis hasil ulangan dengan
melihat sifat kesalahan yang dibuat.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahu kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahu kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list.
d. Mendapatkan kesan atau pendapat dari
guru lain terutama wali kelas,dan
guru pembimbing.
guru pembimbing.
e. Menelaah
bagian-bagian kesulitan untuk memperoleh pengertian yang benar
mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Langkah ini dapat dilakukan
guru dengan menganalisis data melalui identifikasi kesulitan belajar siswa
maupun diagnostik kesulitan belajar.
mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Langkah ini dapat dilakukan
guru dengan menganalisis data melalui identifikasi kesulitan belajar siswa
maupun diagnostik kesulitan belajar.
f. Berdasarkan
hasil analisis, guru menentukan bidang kesulitan yang memerlukan bantuan.
Bidang kesulitan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit ditangani baik
oleh guru maupun orangtua dapat bersumber dari kasus-kasus tuna grahita (lemah
mental) seperti siswa yang mengalami kesulitan belajar ber IQ jauh di bawah
normal, orangtua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan
khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa).
D. Pelaksanaan Bantuan
1.
Pembelajaran Individual.
Pembelajaran
yang memperhatikan setiap kebutuhan dan kesulitan yang diperlukan dengan cara
pendekatan secara individual dan pendekatan psikis.
2.
Masukkan Anak Pada Kelompok Anak
Pandai
Tujuan untuk memasukkan ke dalam
kelompok anak pandai adalah agar anak ini melihat bagaimana anak pandai belajar
dan berusaha memecahkan persoalan. Mereka saya jadikan contoh buat Sri.
3.
Memberikan Motivasi
Kita harus selalu memberi motivasi
kepada anak yang berkeinginan memperbaiki pola belajarnya. Saya selalu
menghargai hasil nilai yang diperoleh anak, walaupun hasil nilai masih jauh
dibawah target terendah. Kita hargai usaha anak sehingga anak merasa dihargai
dan bertambah semangat dalam belajar.
Kita juga bisa memberi motivasi
kepada anak dengan cara sesekali melonggarkan aturan yang kita buat. Misalnya
aturan yang kita buat anak belajar dari jam tujuh sampai sembilan malam. Karena
anak tersebut pada siang hari sudah belajar dengan kemauan sendiri, maka kita
bisa mengatakan, “Sekarang kamu boleh bermain karena tadi sudah belajar dengan
baik.” Anak itu pasti akan merasa gembira dan menjadi contoh anak yang lain
untuk berbuat hal yang serupa. Motivasi seperti ini akan menambah semangat
belajar anak.
Motivasi juga bisa diberikan dengan
cara memberi penghargaan atas usaha anak. Penghargaan tidak harus berbentuk
barang. Pujian, senyuman, ucapan terima kasih, tatapan takjub, acungan jempol,
juga bisa dijadikan sebagai penghargaan.
E. Hasil yang diperoleh
Setelah melakukan pelaksanaan
bantuan yang diatas pada saat observasi, belum terlihat perubahan secara
mencolok, dikarenakan waktu observasi yang cukup singkat. Tetapi saya yakin
anak ini dapat berubah sesuai dengan target yang diharapkan, jika bantuan
layanan diatas terlaksana dengan baik, serta peran guru, teman dan orang tua
yang sangat mendukung.
F. Analisis
a. Masalah
membaca, menulis dan menghitung.
Observasi
pertama kali dilakukan pada tanggal 16 desember 2009. Observasi pertama yang
saya lakukan adalah observasi menulis, saya memerintahkan sri menuliskan
tulisan yang ada di dalam buku bacaannya(buku bahasa Indonesia), hasilnya dia
bisa menulis dengan baik dan jelas terbaca, setelah itu saya mendiktekan
beberapa kalimat, hasilnyapun baik dan benar juga, tetapi masalah yang dihadapi
anak ini adalah masalah waktunya saja,dia sangat lama setiap perintah yang saya
berikan.
Observasi
kedua adalah membaca, saya perintahkan untuk membaca buku bacaannya(buku bahasa
Indonesia), dia sangat lancar, tetapi ketika saya perintahkan untuk membaca
buku bahasa inggris, dia nampak kesulitan dan cenderung salah dalam
pengucapannya.
Selanjutnya
adalah observasi tentang matematika, lalu anak tersebut saya perintahkan untuk
mengerjakan soal penambahan, pengurangan dan pembagian, setelah dilihat hasil
pekerjaannya ternyata benar semua, tetapi masalah waktu lagi yang jadi
persoalan, dia sangat lamban dan lama setiap mengerjakan soal-soal yang saya
berikan.
b. Masalah motivasi dalam belajar.
Selain
masalah dalam membaca, menulis dan berhitung yang sangat lamban, diapun
memiliki masalah motivasi yang sangat rendah dalam hal belajarnya, terbukti
setiap soal-soal yang diberikan oleh saya, dia nampak malas dan harus dipaksa.
Menurut keterangan gurunya bahwa siswa ini termasuk siswa yang malas, setiap
tugas yang diberikan di sekolah ataupun tugas untuk dirumah dia selalu tidak
mengerjakannya.lalu dia jarang sekali masuk ke sekolah. Ternyata setelah saya
analisis dia mempunyai sifat malas itu karena faktor lingkungannya, terutama
keluarga, kedua orang tuanya jarang sekali di rumah dan berakibat anak tidak
terperhatikan setiap kebutuhannya.
c. Masalah
tingkah laku yang menetap
Anak
ini memiliki perilaku bermasalah. Misal, cepat mengambek dan marah. Hal ini
sudah terlihat sejak bayi. Anak yang mengalami kesulitan persepsi visual dan
bahasa akan sulit memahami dan mengingat informasi, sehingga sering terkesan
sukar diatur dan kasar.Tingkah laku ini tentu saja tidak disadari oleh anak.
Kesulitan muncul saat anak masuk sekolah, karena sekolah menuntutnya
berperilaku baik. Di sekolah mungkin ia berhasil mengendalikan diri, namun di
rumah ada perubahan mood mencolok. Anak LD kemudian dianggap keras kepala,
malas, tak peka, tak bertanggung jawab, dan tak mau bekerja sama.
Beberapa tanda yang mudah
dikenali yaitu :
d. Kurangnya kepercayaan dan harga
diri
Anak ini sering menganggap dirinya
bodoh karena tak dapat meraih prestasi baik di sekolah, tak dapat memenuhi
harapan orangtua, tak diterima kelompok. Adanya rendah diri ini akan menurunkan
motivasi akademis mereka. Anak LD rentan terhadap situasi yang membuat mereka
mudah putus asa dan berhenti mencoba (learned helplessness).
e. Kekurangan
dalam Memori
Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar sering memperlihatkan kekurangan
dalam memori auditoris. Begitupula dengan anak ini memiliki kekurangan dalam memori auditoris sehingga menimbulkan
kesulitan dalam memproduksi bahasa. Lagi pula, dia sering memperlihatkan adanya kekurangan khusus
dalam mengulang urutan fonem, mengingat kembali kata-kata, mengingat simbol,
dan memahami hubungan sebab akibat.
BAB
IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Anak-anak
ini mengalami kesulitan bila harus belajar secara ‘biasa’ seperti halnya
anak-anak yang lain. Mereka perlu diarahkan bagaimana cara belajar bagi
dirinya, bagaimana memulai dengan suatu tugas, bagaimana mengarahkan perhatian,
mengamati, mendengarkan instruksi bahkan bagaimana mengarahkan beberapa proses
pada saat yang bersamaan. Singkat kata, mereka memerlukan pendekatan penanganan
yang beda dengan pendekatan yang biasa dilakukan anak-anak lain seusianya.Bila
tidak ditangani dengan baik dan benar, mereka akan mengalami gangguan emosional
(psikiatrik) dan akan berdampak buruk bagi perkembangan kualitas hidup anak di
kemudian hari. Anak berkesulitan belajar, biasanya tampil kurang dewasa
dibanding teman-teman seusianya dan kesulitan belajar ini juga mempengaruhi
koordinasi fisik dan perkembangan emosional anak. Selain itu, anak berkesulitan
belajar sulit memahami isyarat-isyarat sosial yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat.
Akibatnya, mereka terlihat seperti mempunyai kebiasaan sosial yang berbeda dengan lingkungannya. Tentu saja, hal ini membuat masyarakat di lingkungannya sulit untuk menerima, bahkan akan cenderung mengucilkannya. Secara umum, penanganan anak-anak berkesulitan belajar memiliki tujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang dirinya, kemudian mengembangkan kelebihan dan meminimalkan kesulitan/kekurangan dalam dirinya. Dan, ini yang penting, menga-rahkannya untuk dapat mencari jalan keluar (solusi) dari permasalahan yang akan dihadapi nanti untuk menjadi seseorang yang mandiri.Untuk menangani anak berkesulitan belajar diperlukan kerjasama yang baik dan positif antara orangtua (terutama), guru di sekolahnya dan beberapa profesional seperti dokter anak, psikiater anak, psikolog, terapis.
Diperlukan upaya serius dan berkesinambungan untuk melaksanakan penanganan anak berkesulitan belajar. Anak-anak berkesulitan belajar, biasanya merasa frustrasi karena sering mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas atau pun langkah-langkah untuk diri sendiri. Dalam benak mereka, apa pun yang dilakukan selalu sia-sia, tak ada artinya, negatif dan lain sebagainya, pada intinya adalah selalu mengalami kegagalan. Tentu saja, kondisi semacam ini menjadi kontra produktif, mereka kemudian menjadi sensitif, tidak mudah untuk percaya pada orang lain bahkan (mungkin) terhadap orang yang paling dekat dengan dirinya, dalam hal ini adalah orangtua. Untuk mengetahui apakah seorang anak memiliki kecenderungan berkesulitan belajar diperlukan pendeteksian yang cermat.
B. Rekomendasi
Kekhasan karakteristik anak LD, mengisyaratkan bahwa dalam
pelaksanaan bimbingan perlu dilakukan melalui studi yang mendalam secara
individual. Untuk itu perlu dilakukan assesmen secara obyektif, akurat,
mendalam, dan komprehensif sehingga diperoleh pemahaman yang seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya terhadap berbagai permasalahan, keterbatasan, hambatan,
kekurangan, ketidakmampuan, maupun keunggulan-keunggulan tertentu yang
dimilikinya, untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan program bimbingan
yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
Pemahaman terhadap keunggulan anak, di samping penting untuk
dimanfaatkan dalam upaya mengatasi masalahnya, juga dalam rangka mengembangkan
keunggulannya tersebut, sehingga mereka mampu berprestasi tinggi sesuai potensi
yang dimilikinya.
Hasil pengamatan di lapangan tentang layanan bimbingan pada anak LD
sekolah dasar yang , menunjukkan bahwa para guru masih belum mampu menjalankan
fungsi dan peranannya sebagai pembimbing secara maksimal, belum mampu menyentuh
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi anak, serta belum secara aktif
melakukan konsultasi dan koordinasi dengan ahli lain yang terkait dengan
permasalahan anak.
Secara teoretis, pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD, seyogyanya
dimulai dengan pemahaman karakteristik anak, familier dengan
instrumen-instrumen assesmen yang digunakan untuk menentukan jenis dan tingkat
kesulitan belajar anak dalam rangka pemahaman dan mengkomunikasikan pada tim
ahli tentang masalah belajar anak, melakukan koordinasi dengan tim ahli (guru
kelas, psikolog sekolah, tenaga medis, dan ahli terapi lain) yang menangani
anak, melakukan konseling dan konsultasi dengan orang tua dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan memfasilitasi perkembangan anak, melaksanakan
konseling pada anak sesuai dengan keunikan masalah yang dihadapinya, dan
melakukan konseling dan konsultasi dengan personel sekolah dalam rangka
peningkatan pemahaman mereka terhadap masalah belajar, sosial, dan tingkah laku
anak (Rudolph, 1978, dalam Thompson dan Rudolph, 1983).
Sementara itu Kavanagh dan Truss (1988) menegaskan bahwa penanganan
anak LD di sekolah hanya akan efektif bila dibarengi dengan penangan khusus di
klinik-klinik. Khusus bagi mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata,
perlu dirumuskan suatu program khusus sesuai dengan potensinya. Sebab, dalam
membantu mengatasi masalahnya tidak cukup dengan pendekatan yang digunakan
untuk mereka yang memiliki inteligensi rata-rata atau di bawah rata-rata.
Sedangkan Dunn dan Dunn (Milgram, 1991) mengaskan perlunya penyesuaian antara
teknik konseling yang digunakan dengan gaya
belajar anak, serta perlunya keterlibatan secara intensif dari orang tua dalam
keseluruhan program bimbingan.
Uraian di atas,
dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan bimbingan terhadap anak LD di sekolah dasar
yang:
1.
Anak dijadikan sebagai unsur
sentral yang harus diperhatikan dalam keselurhan program bimbingan.
2.
Dilakukan melalui tim
multidisipliner dengan guru sebagai ujung tombak
3.
Dilakukan berdasarkan program
khusus yang mampu mengakses kelebihan dan kekurangan anak, atau karakteristik
dan kebutuhannya.
4.
Menempatkan kegiatan konseling
sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan, di samping pengajaran
remedial.
Berangkat dari
keseluruhan pemikiran di atas, maka layanan bimbingan yang dibutuhkan anak LD
di sekolah dasar, adalah model layanan bimbingan yang mampu:
1.
Menempatkan penghargaan tinggi
terhadap keunikan anak sebagai totalitas pribadi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
2.
Menjangkau persoalan-persoalan
mendasar yang dihadapi anak.
3.
Menjamin terjadinya eskalasi
kemampuan berpikir tingkat tinggi anak sesuai dengan keunggulan intelektualnya.
4.
Melibatkan ahli lain dalam
suatu tim multidisipliner.
5.
Menempatkan layanan konseling
sebagai inti dari keseluruhan program bimbingan.
6.
Menempatkan guru sebagai ujung
tombak dari keseluruhan program bimbingan.
Untuk menjawab
permasalah di atas, maka Model Bimbingan Berdiferensiasi yang ditawarkan,
merupakan pilihan tepat dalam membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi
anak LD di sekolah dasar yang memiliki inteligensi di atas rata-rata sesuai
dengan karakteristik dan kebutuhannya
C. Penutup
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan layanan pembelajaran yang tepat, maka sebelumnya perlu adanya proses identifikasi (menemu-kenali). Hal tersebut menjadi penting, karena jumlah anak berkesulitan belajar cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yang terjadi di tingkat sekolah dasar.
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan layanan pembelajaran yang tepat, maka sebelumnya perlu adanya proses identifikasi (menemu-kenali). Hal tersebut menjadi penting, karena jumlah anak berkesulitan belajar cenderung meningkat dari tahun ke tahun, yang terjadi di tingkat sekolah dasar.
Sejarah PLB
Oleh Djadja Raharja
A. Pengertian Pendidikan Luar Biasa
Dalam Encyclopedia of Disability (2006:257) tentang pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak dengan kelainan.
A. Pengertian Pendidikan Luar Biasa
Dalam Encyclopedia of Disability (2006:257) tentang pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak dengan kelainan.
Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa penyandang cacat tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Mungkin dia memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan, layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar; seorang siswa dengan cacat fisik mungkin memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus; seorang siswa dengan kesulitan belajar mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain, seorang siswa dengan kelainan pada aspek kognitifnya mungkin akan memperolah keuntungan dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama dengan guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.
Pendidikan luar biasa diibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana siswa penyandang cacat, meskipun berada di sekolah umum, diberi garansi untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi maksimalnya. Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran kontemporer menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk program layanan di rumah bagi anak-anak prasekolah penyandang cacat, kelas khusus di sekolah umum, atau sekolah khusus untuk siswa-siswa yang gifted dan berbakat. Pendidikan luar biasa bisa diberikan di kelas-kelas pendidikan umum. Individu-individu penyandang cacat hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya lainnya. Juga harus selalu diingat, bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kecacatannya, dan pusatkan perhatian pada apa yang dapat mereka lakukan daripada pada apa yang tidak dapat mereka lakukan.
B. Sejarah
Yang mendasari sikap masyarakat dunia sekarang ini terhadap individu penyandang cacat adalah berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para philosof, aktivis, dan humanitarian Eropa. Dedikasi mereka sebagai pembaharu dan rintisan pemikirannya menjadikan mereka sebagai katalisator perubahan. Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad ke-delapan belas atau awal abad ke-sembilan belas.
Salah satu dokumen yang pertama kali mencoba menggambarkan pendidikan luar biasa adalah upaya yang dilakukan oleh seorang dokter Perancis bernama Jean Marc-Gaspard Itard (1775-1838) dengan mendidik Victor anak berusia 12 tahun, yang selanjutnya disebut “anak liar dari Aveyron”. Menurut cerita rakyat, Victor ditemukan oleh sekelompok pemburu di hutan dekat kota Aveyron. Ketika ditemukan, dia tidak berpakaian, tidak berbahasa, berlari tapi tidak berjalan, dan menunjukkan perilaku seperti binatang. Itard, sebagai ahli penyakit telinga dan mengajar anak-anak muda dengan ketunarunguan, mencoba pada tahun 1799 “mendidik” Victor. Dia mencoba mengajar Victor melalui program latihan sensori dan apa yang sekarang ini disebut modifikasi perilaku. Karena kedewasaannya tersebut Itard tidak berhasil mengembangkan bahasa secara utuh setelah lima tahun dedikasinya dan seluruh pembelajarannya, dan hanya terbiasa dengan keterampilan dasar sosial dan menolong diri. Itard menganggap usahanya tersebut gagal. Tetapi kemudian dia mampu menunjukkan bahwa belajar masih memungkinkan bagi individu yang digambarkan tidak mempunyai harapan dan idiot. Gelar “Bapak Pendidikan Luar Biasa” tepat diberikan kepada Itard karena inovasi pekerjaanya pada 200 tahun yang lalu. Pionir yang berpengaruh lainnya adalah murid Itard bernama Edouard Seguin (1812-1880). Dia mengembangkan program pembelajaran bagi anak muda yang oleh para ahli lainnya diidentifikasi tidak mempunyai kemampuan untuk belajar. Seperti halnya sang mentor Itard, Seguin dipengaruhi oleh pentingnya aktifitas sensorimotor sebagai alat bantu untuk belajar. Metodologinya berdasar pada asesmen yang komprehensif dari kekuatan dan kelemahan siswa bersamaan dengan pembuatan perencanaan secara berhati-hati latihan sensomotor yang dirancang untuk remediasi kelainan khusus. Seguin juga merealisasikan nilai pendidikan usia dini; dia disebut sebagai orang yang pertama dalam melakukan intervensi dini. Ide dan teori Seguin, yang dia gambarkan dalam bukunya berjudul Idiocy and Its Treatment by the Physiological Method, merupakan dasar untuk Maria Montessori melakukan pekerjaan kemudian dengan urban yang miskin dan anak-anak dengan ketunagrahitaan. Pekerjaan Itard, Seguin, dan para pembaharu lainnya pada waktu itu membantu mewujudkan dasar-dasar untuk banyak praktek dewasa ini dalam pendidikan luar biasa. Contoh dari berbagai kontribusi tersebut termasuk di dalamnya pembelajaran individual, penggunaan teknik reinforcement positif, dan keyakinan bahwa semua anak dapat belajar.
Pada tahun 1948, Seguin berimigrasi ke Amerika Serikat, dimana dalam beberapa tahun kemudian dia membantu mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama American Association on Mental Retardation. Seorang Amerika, Reverend Thomas Hopkins Gallaudet (1787-1851) melakukan perjalanan ke Eropa, dimana dia belajar tentang teknik-teknik yang mutakhir dan inovasi untuk mengajar anak-anak tunarungu. Setelah dia kembali ke negaranya, dia berusaha membantu untuk mendirikan American Asylum for the Education of the Deaf and Dumb di Hartford, Conecticut. Fasilitas ini didirikan pada tahun 1817, merupakan sekolah berasrama yang pertama di Amerika Serikat dan sekarang ini dikenal dengan sebutan American School for the Deaf, Universitas Gallaudet, merupakan lembaga pendidikan seni bagi siswa dengan ketunarunguan, nama tersebut diperuntukkan bagi kontribusinya.
Berikut ini ringkasan pekerjaan yang dilakukan oleh para pemikir dan aktifis Eropa dan Amerika yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan luar biasa.
Para Pionir yang Berkontribusi padaPengembangan Pendidikan Luar Biasa (Gargiulo, 2006)
Jacob Rodrigues Pereine 1715 – 1718
Memperkenalkan pemikirannya bahwa orang-orang dengan ketunarunguan dapat diajari berkomunikasi. Mengembangkan bentuk awal dari bahasa isyarat. Memberikan inspirasi dan dorongan untuk pekerjaan Itard dan Seguin.
Para Pionir yang Berkontribusi padaPengembangan Pendidikan Luar Biasa (Gargiulo, 2006)
Jacob Rodrigues Pereine 1715 – 1718
Memperkenalkan pemikirannya bahwa orang-orang dengan ketunarunguan dapat diajari berkomunikasi. Mengembangkan bentuk awal dari bahasa isyarat. Memberikan inspirasi dan dorongan untuk pekerjaan Itard dan Seguin.
Phillippe Pinel 1775 – 1826
Seorang dokter Perancis yang mempunyai perhatian terhadap perawatan humanitarian individu dengan sakit mental. Mendukung pelepasan pasien dari institusi yang membelenggunya. Sebagai pionir dalam occupational therapy. Berperan sebagai mentor Itard.
Jean Marc-Gaspard Itard 1775 – 1838
Seorang dokter Perancis yang kemudian menjadi terkenal karena upaya yang sistematisnya dalam mendidik dewasa yang diperkirakan tunagrahita berat. Menemukan pentingnya stimulasi sensori.
Thomas Gallaudet 1787 – 1851
Mengajari anak-anak dengan ketunarunguan berkomunikasi mempergunakan sistem isyarat manual dan simbol. Mendirikan lembaga yang pertama di Amerika.
Samuel Gridley Howe 1801 – 1876
Seorang dokter Amerika dan pendidik yang menjadi terkenal secara internasional karena keberhasilannya dalam mengajar individu dengan ketunanetraan dan ketunarunguan. Mendirikan fasilitas berasrama yang pertama bagi tunanetra dan aktif memberikan penghargaan pada lembaga pemerhati anak-anak dengan ketunagrahitaan.
Dorothea Lynde Dix 1802 – 1887
Dix merupakan orang Amerika pertama yang meraih juara terbaik dan menangani lebih manusiawi mereka yang sakit mental. Berinisiatif mendirikan berbagai institusi bagi individu-individu dengan kelainan mental.
Louis Braille 1809 – 1852
Seorang pendidik Perancis, tunanetra, yang mengembangkan sistem perabaan untuk membaca dan menulis bagi orang tunanetra. Sistem dia, berdasar pada sel berupa enam buah titik timbul, yang masih dipergunakan sampai sekarang. Kode yang baku ini dikenal sebagai Braille Inggris Standar.
Edouard Seguin 1812 – 1880
Murid dari Itard, Seguin merupakan seorang dokter Perancis yang bertanggung jawab dalam mengembangkan metoda mengajar bagi anak-anak dengan ketunagrahitaan. Latihannya menekankan pada aktifitas sensomotoris. Setelah berimigrasi ke Amerika Serikat, dia membantu mendirikan organisasi yang disebut American Association on Mental Retardation.
Francis Galton 1822 – 1911
Ilmuwan yang konsern dengan perbedaan individu. Sebagai hasil dari mempelajari orang terkenal, dia percaya bahwa kejeniusan hanya sebagai hasil dari keturunan. Bahwa kemampuan superior adalah dilahirkan bukan dibuat.
Alexander Graham Bell 1847 – 1922
Pionir pendukung mendidik anak-anak dengan kelainan di sekolah umum. Sebagai seorang guru bagi siswa dengan ketunarunguan. Bell memperkenalkan penggunaan sisa pendengaran dan mengembangkan keterampilan berbicara pada siswa dengan ketunarunguan.
Alfred Binet 1857 – 1911
Psikolog Prancis yang mengkontruksi pertama kali skala asesmen perkembangan standar yang mampu menentukan angka inteligensi. Tujuan orisinil dari tes ini adalah mengidentifikasi siswa yang mempunyai kemungkinan keuntungan dari pendidikan luar biasa dan bukan mengklasifikasikan individu berdasar pada kemampuannya. Juga menemukan usia mental dengan siswanya Theodore Simon.
Maria Montessori 1870 – 1952
Dikenal di seluruh dunia untuk kepionirannya bekerja dengan anak-anak muda dengan ketunagrahitaan. Perempuan pertama yang memperoleh gelar dokter di Itali. Ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Menunjukkan bahwa anak-anak mampu untuk belajar pada usia sangat awal kalau dikelilingi oleh bahan-bahan manipulatif dalam lingkungan yang kaya dan mendukung. Keyakinannya bahwa anak-anak belajar dengan baik melalui pengalaman langsung sensoris.
Lewis Terman 1877 – 1956
Seorang pendidik Amerika dan psikolog yang merevisi instrumen asesmen asli Binet. Hasilnya berupa publikasi Stanford-Binet Simon Scale of Intelligence pada tahun 1916. Terman mengembangakn ide tentang intelligence quotient, atau IQ. Juga terkenal untuk studi jangka panjangnya tentang individu-individu gifted. Disebut sebagai kakeknya pendidikan anak-anak gifted.
Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB). Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi: (1) SLB bagian A untuk anak tunanetra, (2) SLB bagian B untuk anak tunarungu, (3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, (4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, (5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan (6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Selain itu dilakukan juga berbagai upaya, salah satunya adalah sosialisasi dan implementasi pendidikan inklusif.
Seorang dokter Perancis yang mempunyai perhatian terhadap perawatan humanitarian individu dengan sakit mental. Mendukung pelepasan pasien dari institusi yang membelenggunya. Sebagai pionir dalam occupational therapy. Berperan sebagai mentor Itard.
Jean Marc-Gaspard Itard 1775 – 1838
Seorang dokter Perancis yang kemudian menjadi terkenal karena upaya yang sistematisnya dalam mendidik dewasa yang diperkirakan tunagrahita berat. Menemukan pentingnya stimulasi sensori.
Thomas Gallaudet 1787 – 1851
Mengajari anak-anak dengan ketunarunguan berkomunikasi mempergunakan sistem isyarat manual dan simbol. Mendirikan lembaga yang pertama di Amerika.
Samuel Gridley Howe 1801 – 1876
Seorang dokter Amerika dan pendidik yang menjadi terkenal secara internasional karena keberhasilannya dalam mengajar individu dengan ketunanetraan dan ketunarunguan. Mendirikan fasilitas berasrama yang pertama bagi tunanetra dan aktif memberikan penghargaan pada lembaga pemerhati anak-anak dengan ketunagrahitaan.
Dorothea Lynde Dix 1802 – 1887
Dix merupakan orang Amerika pertama yang meraih juara terbaik dan menangani lebih manusiawi mereka yang sakit mental. Berinisiatif mendirikan berbagai institusi bagi individu-individu dengan kelainan mental.
Louis Braille 1809 – 1852
Seorang pendidik Perancis, tunanetra, yang mengembangkan sistem perabaan untuk membaca dan menulis bagi orang tunanetra. Sistem dia, berdasar pada sel berupa enam buah titik timbul, yang masih dipergunakan sampai sekarang. Kode yang baku ini dikenal sebagai Braille Inggris Standar.
Edouard Seguin 1812 – 1880
Murid dari Itard, Seguin merupakan seorang dokter Perancis yang bertanggung jawab dalam mengembangkan metoda mengajar bagi anak-anak dengan ketunagrahitaan. Latihannya menekankan pada aktifitas sensomotoris. Setelah berimigrasi ke Amerika Serikat, dia membantu mendirikan organisasi yang disebut American Association on Mental Retardation.
Francis Galton 1822 – 1911
Ilmuwan yang konsern dengan perbedaan individu. Sebagai hasil dari mempelajari orang terkenal, dia percaya bahwa kejeniusan hanya sebagai hasil dari keturunan. Bahwa kemampuan superior adalah dilahirkan bukan dibuat.
Alexander Graham Bell 1847 – 1922
Pionir pendukung mendidik anak-anak dengan kelainan di sekolah umum. Sebagai seorang guru bagi siswa dengan ketunarunguan. Bell memperkenalkan penggunaan sisa pendengaran dan mengembangkan keterampilan berbicara pada siswa dengan ketunarunguan.
Alfred Binet 1857 – 1911
Psikolog Prancis yang mengkontruksi pertama kali skala asesmen perkembangan standar yang mampu menentukan angka inteligensi. Tujuan orisinil dari tes ini adalah mengidentifikasi siswa yang mempunyai kemungkinan keuntungan dari pendidikan luar biasa dan bukan mengklasifikasikan individu berdasar pada kemampuannya. Juga menemukan usia mental dengan siswanya Theodore Simon.
Maria Montessori 1870 – 1952
Dikenal di seluruh dunia untuk kepionirannya bekerja dengan anak-anak muda dengan ketunagrahitaan. Perempuan pertama yang memperoleh gelar dokter di Itali. Ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Menunjukkan bahwa anak-anak mampu untuk belajar pada usia sangat awal kalau dikelilingi oleh bahan-bahan manipulatif dalam lingkungan yang kaya dan mendukung. Keyakinannya bahwa anak-anak belajar dengan baik melalui pengalaman langsung sensoris.
Lewis Terman 1877 – 1956
Seorang pendidik Amerika dan psikolog yang merevisi instrumen asesmen asli Binet. Hasilnya berupa publikasi Stanford-Binet Simon Scale of Intelligence pada tahun 1916. Terman mengembangakn ide tentang intelligence quotient, atau IQ. Juga terkenal untuk studi jangka panjangnya tentang individu-individu gifted. Disebut sebagai kakeknya pendidikan anak-anak gifted.
Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB). Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi: (1) SLB bagian A untuk anak tunanetra, (2) SLB bagian B untuk anak tunarungu, (3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, (4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, (5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan (6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Selain itu dilakukan juga berbagai upaya, salah satunya adalah sosialisasi dan implementasi pendidikan inklusif.
Konsep pendidikan terpadu diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 oleh Helen Keller International, Inc. Ketika itu HKI membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka sekolah terpadu bagi anak tunanetra. Keberhasilan proyek itu menyebabkan dikeluarkannya SK Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat, yang pada intinya mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan dapat diterima bersekolah di sekolah reguler. Sayangnya, setelah proyek pendidikan terpadu itu berakhir, implementasi pendidikan terpadu itu semakin mundur, terutama di tingkat sekolah dasar. Akan tetapi menjelang akhir tahun 90-an muncul upaya baru untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dengan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Dengan implementasi pendidikan inklusif diharapkan lebih banyak anak berkebutuhan khusus usia sekolah akan mendapatkan kesempatan bersekolah. Pendidikan guru untuk PLB yang pertama, Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), didirikan di Bandung pada tahun 1952, dengan lama pendidikan dua tahun. Pada mulanya SGPLB diperuntukkan bagi guru-guru yang sudah berpengalaman mengajar di SD dan berizasah SGB. Dalam perkembangan selanjutnya, input SGPLB adalah tamatan SLTA, dan lulusannya dihargai sejajar dengan sarjana muda. Ketika SGPLB dilikuidasi pada tahun 1994, di seluruh Indonesia terdapat enam SGPLB (Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar dan Padang). Likuidasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi guru PLB menjadi sekurang-kurangnya berizasah S1. Program S1 PLB yang pertama di Indonesia dibuka di IKIP Bandung (sekarang UPI) pada tahun 1964. Beberapa tahun kemudian beberapa IKIP dan perguruan tinggi lain juga membuka jurusan PLB. Kini sembilan universitas di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, memiliki jurusan PLB.
Pada tahun 1996 UPI membuka konsentrasi Bimbingan Anak Khusus pada program studi Bimbingan dan Penyuluhan di Program Pasca-Sarjana sebagai upaya merintis dibukanya program studi PLB pada jenjang S2. Pada tahun 2004 program studi ini menjadi mandiri dengan nama Program Studi Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus.
C. Kebijakan
Seluruh warganegara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang mengemukakan, bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pada tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, sebagai berikut:
1. Bab I Pasal 1 (18) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2. Bab III Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
3. Bab IV Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, (3) Warganegara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4) Warganegara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
4. Bab V Pasal 12 (1) huruf b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, huruf d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, huruf e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, dan huruf f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
5. Bab VI Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
6. Bab VI, Bagian Kesebelas, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
7. Bab VIII Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, dan (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
8. Bab X Pasal 36 (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan luar biasa, baik untuk tingkat SDLB, SMPLB, maupun SMALB.
Selain dari beberapa perundangan dan peraturan yang dikemukakan di atas, masih ada kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dituangkan dalam bentuk visi dan misi sebagai berikut:
VISI
Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
MISI
- Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi
- Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau ketrampilan yang memadai.
- Meningkatkan kemampuan manajerial para pengelola, pembina, pengawas, guru, dan tenaga pendidikan lainnya.
- Memperluas jejaring (network) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan luar biasa. (Dit. PSLB, 2006)
Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional. Beberapa diantaranya adalah:
- 1948 Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia – termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang – PBB.
- 1989 Konvensi tentang Hak Anak (PBB, dipublikasikan tahun 1991)
- 1990 Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992)
- 1993 Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994)
- 1994 Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995)
- 2000 Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO).
Pada bulan Oktober 2002 kelompok kerja Asia dan Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk 10 tahun yang akan datang. BMF mengidentifikasi tujuh prioritas sebagai berikut: (1) organisasi swadaya penyandang cacat dan asosiasi keluarga dan orang tua, (2) perempuan penyandang cacat, (3) deteksi dini, intervensi dini, dan pendidikan, (4) pelatihan dan penempatan kerja, termasuk wirausaha, (5) akses dalam lingkungan dan transportasi, (6) akses dalam informasi dan komunikasi, termasuk teknologi informasi, komunikasi dan alat bantu, serta (7) mengurangi kemiskinan melalui Capacity-Building, keamanan sosial, dan program kehidupan berkelanjutan (Takamine, Y., 2004)
MISI
- Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi
- Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau ketrampilan yang memadai.
- Meningkatkan kemampuan manajerial para pengelola, pembina, pengawas, guru, dan tenaga pendidikan lainnya.
- Memperluas jejaring (network) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan luar biasa. (Dit. PSLB, 2006)
Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional. Beberapa diantaranya adalah:
- 1948 Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia – termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang – PBB.
- 1989 Konvensi tentang Hak Anak (PBB, dipublikasikan tahun 1991)
- 1990 Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992)
- 1993 Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994)
- 1994 Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995)
- 2000 Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO).
Pada bulan Oktober 2002 kelompok kerja Asia dan Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk 10 tahun yang akan datang. BMF mengidentifikasi tujuh prioritas sebagai berikut: (1) organisasi swadaya penyandang cacat dan asosiasi keluarga dan orang tua, (2) perempuan penyandang cacat, (3) deteksi dini, intervensi dini, dan pendidikan, (4) pelatihan dan penempatan kerja, termasuk wirausaha, (5) akses dalam lingkungan dan transportasi, (6) akses dalam informasi dan komunikasi, termasuk teknologi informasi, komunikasi dan alat bantu, serta (7) mengurangi kemiskinan melalui Capacity-Building, keamanan sosial, dan program kehidupan berkelanjutan (Takamine, Y., 2004)
D. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa
Berikut ini akan dikemukakan beberapa kecenderungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini.
Pendidikan Inklusif
Tidak ada topik dalam pendidikan luar biasa yang mempunyai dampak yang luas atau mengakibatkan banyaknya kontroversi selain inklusi. Banyak definisi tentang inklusi bermunculan, kebanyakan dari definisi tersebut berfokus pada seting dimana para siswa dengan kelainan menerima pendidikan mereka. Inklusi adalah suatu sistem yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah sebagai masyarakat belajar – guru, administrator, staf lainnya, siswa, dan orang tua – tentang tanggung jawabnya untuk mendidik semua siswa sehingga mereka dapat mencapai potensinya semaksimal mungkin. Meskipun lokasi fisik siswa di sekolah atau kelas ada dalam satu dimensi inklusifitas, inklusi bukan tentang dimana siswa duduk seperti halnya teman sekelasnya yang menerima mereka untuk sama-sama mendapatkan akses kuriklum dan menerima keanekaragaman siswa, di dalam sekolah sekarang dikatakan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua anak. Inklusi meliputi para siswa yang gifted dan berbakat, mereka yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka, mereka yang berkelainan, dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu sistem yang dipercaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari semua staf.
Beberapa ahli mengatakan bahwa hanya dengan cara ini sekolah dapat menunjukkan sistem inklusif dimana seluruh siswa dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan umum. Menurut mereka tanpa dengan pendekatan ini sebagian anak akan terpisah selama-lamanya karena mereka tidak dapat terpenuhi standar akademik sebagaimana mestinya. Mereka juga mengemukakan, bahwa para siswa berada di sekolah baik mengikuti kurikulum eksplisit maupun implisit. Kurikulum eksplisit adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses oleh para siswa yang berkelainan, sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum yang termasuk di dalamnya interaksi sosial dan berbagai keterampilan yang sangat baik dipelajari bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Para ahli meyakinkan bahwa dengan guru yang kompeten, dukungan dan layanan yang mencukupi, serta komitmen yang kuat dapat menjamin setiap siswa berhasil dengan tidak memerlukan tempat pendidikan yang terpisah. Para ahli tersebut menyarankan bahwa banyak siswa yang memerlukan kelas dengan ukuran lebih kecil, metoda pembelajaran khusus, dan untuk sebagian siswa perlu adanya kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan hidup yang dapat diberikan dalam kelas khusus untuk sebagian atau pun seluruh waktu sekolah.
Akuntabilitas dan Aksesibilitas Pembelajaran
Akuntabilitas untuk pembelajaran dewasa ini juga dilihat dari adanya akses anak dengan kelainan terhadap kurikulum yang dipergunakan oleh anak-anak pada umumnya. Meskipun pada waktu dulu, para ahli umumnya berpikiran bahwa kebanyakan siswa dengan kelainan hendaknya mempunyai kurikulum yang khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka, tetapi pada umumnya sekarang mereka mendukung bahwa semua siswa dengan kelainan sedekat mungkin hendaknya belajar dari kurikulum yang sama dipergunakan oleh siswa yang lain dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Hal tersebut merupakan suatu keseimbangan yang logis dalam prinsip-prinsip inklusi: Jika tujuan pendidikan bagi siswa adalah keberhasilan usia dewasa nanti untuk dapat hidup, bekerja, dan bermain di dalam masyarakat kita, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meyakinkan bahwa seluruh anak mestinya mempunyai akses yang sama terhadap belajar awal secepat mungkin ketika mereka masuk sekolah. Apabila kurikulum tidak sama, siswa dengan kelainan ditempatkan secara kurang menguntungkan.
Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa dengan kelainan mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan.
Meskipun desain universal ini dapat dipergunakan dalam kebutuhan pembelajaran khusus bagi siswa berkelainan dalam seting sekolah umum, tetapi pendidikan luar biasa juga mempunyai pembelajaran khusus sebagai ciri, dan siswa memerlukannya. Misalnya, banyak pandangan terhadap bagaimana siswa belajar membaca. Bagi siswa dengan kesulitan yang bergelut dengan membaca, para ahli dengan jelas telah menemukan bahwa anak-anak seperti ini sering mempunyai masalah dalam mendengar pemisahan ucapan kata-kata dan membeda-bedakan kata-kata tersebut. Jadi penekanan bagi anak seperti ini adalah dalam penggunaan pendekatan membaca dalam seting satu lawan satu atau kelompok kecil yang intensif.
Dimensi lain dari akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran adalah penggunaan alat bantu teknologi, yang merupakan alat dan layanan yang dapat meningkatkan kemampuan fungsi siswa dengan kelainan. Ketika anda bekerja di sekolah, anda mungkin akan melihat siswa menggunakan alat bantu komunikasi khusus, bola yang bisa berbunyi bagi siswa tunanetra, atau alat-alat yang lainnya. Alat bantu teknologi tidak selalu berupa elektronik, tetapi juga termasuk di dalamnya membantu siswa dengan alat pemegang pensil khusus sehingga dia bisa menulis secara lebih mudah, gambar-gambar buatan guru yang dapat ditempelkan di jadwal untuk menunjukan kegiatan siswa yang akan dilakukan selama satu hari itu, dan sebagainya.
Dukungan Perilaku yang Positif
Beberapa anak dengan kelainan mempunyai perilaku yang mengganggu atau tidak berperilaku secara sesuai dengan teman-teman pada umumnya di dalam kelas. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk mengatakan maksudnya meminta bantuan, mungkin akan mengekspresikan rasa frustrasinya dengan mendorong temannya. Dulu perilaku tersebut dianggap sebagai suatu bentuk konsekuensi negatif. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda. Sekarang para ahli mempergunakan dukungan perilaku positif yang terintegrasi dalam perencanaan intervensi perilaku. Mereka melihat perilaku siswa dalam konteks situasi dimana hal itu terjadi, secara hati-hati menentukan apa yang terjadi dalam rangka merancang cara untuk mengurangi perilaku negatif, meningkatkan perilaku yang diinginkan, dan membantu siswa memiliki kualitas akademik dan sosial yang lebih baik dalam kehidupannya. Di dalam contoh dimana seorang siswa mendorong temannya, para ahli akan menganalisis masalah serius tersebut, dan memahaminya dengan baik, kemudian mereka akan menentukan intervensinya. Mereka mungkin akan mencoba mencegah rasa frustrasi siswa dengan memberikan penugasan yang tidak terlalu sulit atau dengan kata lain membantu siswa untuk terhindar dari situasi frustrasi. Mereka juga mungkin mengajarkan kepada para siswa cara terbaik untuk mengekspresikan rasa frustrasinya, mungkin dengan mengajarkan kepada siswa untuk mengatakan „Tolong saya....“ dan memberikan penghargaan kepada siswa untuk perilaku yang sesuai atau dapat diterima. Mereka juga bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam merancang program perilaku siswa, sehingga ada konsistensi antara pendekatan di sekolah dan di rumah.
Kolaborasi
Jika anda berpikir konsep inklusi sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dan merespon kebutuhan siswa, anda mungkin akan memperkirakan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif akan bergantung pada pekerjaan guru dan orang tua secara bersamaan. Tidaklah mengejutkan, bahwa kolaborasi menjadi suatu dimensi yang krusial dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lainnya dan orang tua atau anggota keluarga seperti mereka bekerja bersama-sama dalam mendidik siswa dengan kelainan. Kolaborasi bukanlah sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan tujuan yang akan dicapai.
Top 5 Popular of The Week
-
Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi I. Tujuan Asesmen Pendidikan anak tunarungu merupakan proses yang kompleks. Penempatan y...
-
1. Sejarah Singkat Pendidikan Tunanetra di Dunia Sekolah pertama bagi anak tunanetra di Eropa d...
-
Tunadaksa/gangguan gerekan/kelainan anggota tubuh Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (t...
-
Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi (Informasi berikut ini diambil dari Easterbrooks (1997) dan Ashman & Elkins (1994)). I. ...
-
I. KISI-KISI INSTRUMEN ASESMEN PERKEMBANGAN USIA 3-4 TAHUN ASPEK INDIKATOR ...
-
BAB I PENDAHULUAN I. Latar belakang Beragam problem terkait dengan motivasi berprestasi siswa di sekolah seringkali dihadapi guru. Ada...
-
A. Definisi Low vision 1. Definisi low vision berdasarkan kuantitas pengukuran tajam pen...
-
Oleh: Widianto H Didiet Blog: http://edukasi.kompasiana.com Tawuran Pelajar, Pemalakan Oleh Siswa sekolah lain dan berbagai kekeras...
-
1. Identitas Anak Nama Lengkap : Kireina Saiwana Riffa Nama Panggilan ...
-
PENGANTAR Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bahan ...