SEJARAH PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA



 1. Sejarah Singkat Pendidikan Tunanetra di Dunia

Sekolah pertama bagi anak tunanetra di Eropa didirikan di Paris, Perancis pada tahun 1784 oleh Valentin Hauy. Namun, selama masa-masa rusuh yang mengitari Revolusi Perancis, sekolah yang didirikan oleh Hauy tersebut untuk sementara luput dari perhatian orang, dan Hauy melanjutkan pekerjaannya di Berlin dan St. Petersburg di mana dia membantu mendirikan sekolah-sekolah khusus baru bagi para tunanetra. Selama dua dekade berikutnya sekolah-sekolah semacam ini berdiri di kota-kota besar lain di seluruh Eropa.

Adapun sekolah khusus bagi para tunanetra pertama di Inggris dibuka di Liverpool pada tahun 1891 dan diikuti oleh sekolah-sekolah di Edinburgh, Bristol, London dan kota-kota besar lainnya. Pendirian sekolah-sekolah di Inggris tersebut dipelopori oleh badan-badan sukarela filantropis atau organisasi-organisasi keagamaan, dan sering dilengkapi dengan bengkel-bengkel kerja dan rumah-rumah khusus untuk para tunanetra dewasa yang disebut asylum (rumah suaka). Pada awalnya sekolah-sekolah ini memiliki tujuan utama untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan kerja, misalnya piagam pendirian sekolah Liverpool menyebutkan bahwa para tunanetra akan diberi pelajaran dalam bidang musik atau seni mekanik agar mereka dapat mandiri dan berguna bagi masyarakat (Best, 1992).

Sekolah Khusus dan Sekolah Umum Lokal
Selama masa-masa rusuh yang mengitari Revolusi Perancis, sekolah yang didirikan oleh Hauy itu untuk sementara luput dari perhatian orang, dan Hauy melanjutkan pekerjaannya di Berlin dan St. Petersburg di mana dia membantu mendirikan sekolah-sekolah khusus baru bagi tunanetra. Selama dua dekade berikutnya sekolah-sekolah semacam ini berdiri di kota-kota besar lain di seluruh Eropa.
Sekolah khusus bagi tunanetra pertama di Inggris dibuka di Liverpool pada tahun 1891 dan diikuti oleh sekolah-sekolah di Edinburgh, Bristol, London dan kota-kota besar lainnya. Pendirian sekolah-sekolah di Inggris tersebut dipelopori oleh badan-badan sukarela filantropis atau organisasi-organisasi keagamaan, dan sering dilengkapi dengan bengkel-bengkel kerja dan rumah-rumah khusus untuk tunanetra dewasa yang disebut "asylum" (rumah suaka). Pada awalnya sekolah-sekolah ini terutama bertujuan mengajarkan keterampilan-keterampilan kerja, misalnya piagam pendirian sekolah Liverpool menyebutkan bahwa para tunanetra akan diberi pelajaran dalam bidang musik atau seni mekanik agar mereka dapat mandiri dan berguna bagi masyarakat (Best, 1992).
Meskipun sekolah-sekolah khusus bagi tunanetra di Inggris sudah terorganisasi dengan baik sejak tahun 1860-an, tetapi sekolah-sekolah tersebut baru melayani sebagian saja anak-anak tunanetra yang membutuhkan pendidikan. Menurut Hurt (1988), kampanye untuk mendapatkan pendidikan dasar bagi semua anak yang tunanetra dimulai pada tahun 1869. Elizabeth Gilbert, puteri tunanetra dari Uskup Chichester, menggalang sebuah petisi yang menuntut agar anak-anak tunanetra tercakup di dalam perundang-undangan nasional tentang pendidikan dasar universal.
Pendidikan dasar universal diperkenalkan di Inggris pada tahun 1870. Meskipun undang-undang tidak mewajibkan sekolah-sekolah umum lokal untuk mencakupkan di dalam penyelenggaraannya anak-anak yang tunanetra, tetapi anak-anak tunanetra dengan jumlah yang cukup besar diterima di banyak sekolah umum lokal. Alexander Barnhill, dalam kata pengantarnya pada bukunya A New Era in the Education of Blind Children, or Teaching the Blind in Ordinary School (1875), mengatakan bahwa terdapat 50 anak tunanetra yang diajar dengan cara ini di Skotlandia dan hanya 102 diajar di lembaga-lembaga khusus bagi tunanetra.
Kelompok-kelompok penjaringan yang didirikan di banyak kota pada tahun 1830-an dan 1840-an untuk menjaring orang tunanetra dewasa untuk diberi pengajaran membaca, menemukan juga anak-anak tunanetra yang belum bersekolah. Kota tempat tinggal Barnhill, Glasgow, tidak terkecuali. Dia mengatakan bahwa di kotanya sendiri, di mana terdapat sebuah rumah suaka yang sangat baik, anak-anak seperti ini, dalam jumlah yang cukup besar, ditemukan tumbuh tanpa pendidikan - orang tuanya tidak mampu atau tidak berkeinginan memasukkannya ke lembaga-lembaga bagi tunanetra.
Barnhill berpendapat bahwa pendidikan bagi anak-anak tunanetra di sekolah biasa merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh pendidikan bagi semua anak tunanetra, dengan argumentasi sebagai berikut: Banyaknya kesulitan atau tingginya biaya biasanya merupakan penghambat dimasukkannya anak-anak tunanetra ke lembaga-lembaga bagi tunanetra, sehingga banyak anak yang terabaikan sama sekali. Dalam keadaan seperti ini, alasan untuk mendidik anak-anak tunanetra di sekolah biasa harus diakui sebagai alasan terkuat. Sudah tampak cukup banyak indikasi bahwa Negara tidak akan mentoleransi penyelenggaraan pendidikan yang hanya bagi 50% dari populasi anak tunanetra, yang tertampung di lembaga-lembaga, dan membiarkan selebihnya tumbuh tak terperhatikan. Ketika Barnhill mengadvokasikan untuk diselenggarakannya pendidikan cuma-cuma bagi anak-anak tunanetra di sekolah-sekolah umum lokal, dia tidak bermaksud mengatakan bahwa sekolah-sekolah khusus harus ditutup, melainkan dia mengemukakan bahwa pendidikan bagi semua anak tunanetra hanya dapat dicapai dengan memanfaatkan sekolah umum lokal.
The Royal Commission on the Blind and Deaf and Dumb (Komisi Kerajaan untuk Urusan Tunanetra dan Tunarungu), yang menyampaikan laporannya pada tahun 1889, mencatat bahwa di samping apa yang telah dilaksanakan di Glasgow, sekolah-sekolah umum di London, Bradford, Cardiff dan Sunderland juga telah melaksanakan pengajaran bagi anak-anak tunanetra. Laporan tersebut mengemukakan bahwa dalam kebanyakan kasus, anak-anak ini mengikuti jadwal biasa bersama-sama dengan teman-temannya yang awas dan bergaul dengan mereka, baik pada waktu sekolah maupun pada waktu bermain. Di London, anak-anak tunanetra biasanya mengikuti sekolah biasa, tetapi di samping itu, pada hari-hari tertentu mereka menerima pengajaran khusus di pusat-pusat pendidikan khusus bagi tunanetra yang jumlahnya ada 18 buah. Pada tahun 1888 jumlah keseluruhan anak tunanetra adalah 132.
Para anggota Komisi tersebut pada umumnya lebih menyukai pendidikan anak-anak tunanetra bersama-sama dengan anak-anak awas. Mereka menulis bahwa pergaulan yang bebas dengan orang-orang awas memberikan semangat dan kemandirian kepada orang-orang tunanetra, dan memberikan stimulus yang sehat, yang memungkinkan mereka bersaing secara lebih berhasil dengan orang-orang awas dalam kehidupan mereka kelak dibandingkan dengan mereka yang dididik sepenuhnya di lembaga-lembaga khusus bagi tunanetra.
Atas usulan Komisi tersebut, the Elementary Education Act (Undang-undang Pendidikan Dasar) bagi Anak Tunanetra dan Tunarungu diberlakukan pada tahun 1893. Undang-undang tersebut mewajibkan dewan pengurus sekolah lokal untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak tunanetra dari usia lima sampai enam belas tahun, yang merupakan satu prestasi besar pada masa di mana usia minimal untuk keluar sekolah bagi anak pada umumnya adalah sepuluh tahun.
Berlawanan dengan apa yang mungkin diharapkan, menjelang akhir abad ke-19 itu praktek mendidik anak-anak tunanetra di sekolah umum tampak menurun, dan sekolah-sekolah khusus dibiarkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak tunanetra itu sendirian. Sejumlah faktor bertanggung jawab atas perubahan ini. Satu di antaranya adalah mungkin bahwa Undang-undang pendidikan tahun 1893 itu berisi satu klausul yang mengatur satu prosedur baru bahwa sebuah sekolah harus mempunyai sertifikasi untuk dapat dipandang cocok untuk mengajar anakk-anak tunanetra, dan jelas sekolah khusus akan lebih memungkinkan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh sertifikasi tersebut daripada sekolah umum yang dikelola oleh dewan pengurus lokal. Lebih jauh, berdasarkan Undang-undang pendidikan Inggris tahun 1902, lembaga pendidikan lokal yang lebih kecil dilebur ke dalam lembaga yang lebih besar, dan kebanyakan otoritas pendidikan leburan tersebut tampaknya lebih suka memenuhi kewajibannya terhadap anak-anak tunanetra ini dengan membiayai mereka untuk masuk ke sekolah khusus bagi tunanetra suasta.
Maka sekolah-sekolah khusus bagi tunanetra mengkonsolidasikan posisinya dan gerakan untuk mendidik anak tunanetra di sekolah-sekolah umum lokal kehilangan momentumnya selama 70 tahun. Akan tetapi, gerakan ini tidak mati sama sekali, karena satu survey oleh College of Teachers of the Blind dan National Institute for the Blind (1936) melaporkan bahwa praktek yang saat itu dijumpai di Glasgow, sebagaimana digambarkan oleh salah seorang saksi dari Skotlandia, adalah bahwa di satu dari tiga sekolah untuk anak awas terdapat anak tunanetra.
Pada awal abad ke-20, jumlah anak di sekolah khusus bagi tunanetra meningkat, meskipun sekolah-sekolah tersebut aga selektif dalam pendekatannya.
Wilson (1907), dalam kata pengantarnya pada edisi keempat dari Information with Regard to Institutions, Societies and Classes for the Blind in England and Wales, menyatakan bahwa: Hal-hal berikut ini dapat dipandang sebagai aturan umum yang mempengaruhi semua anak yang ingin masuk ke sekolah khusus bagi tunanetra. Mereka harus buta sama sekali, atau secara praktis adalah buta, tidak berkekurangan dalam daya intelek atau fisiknya, berkesehatan baik, tidak kaku, tidak menderita penyakit kulit ataupun gangguan lain yang dapat mengganggu kenyamanan sesama pelajar, dan harus sudah divaksin atau pernah terkena cacar.
Secara singkat, dapat ditambahkan bahwa sangat sulit untuk memberi rekomendasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan terhadap anak tunanetra yang sakit-sakitan, lemah, dan "berkelainan", yang tidak berhak masuk ke sekolah khusus bagi tunanetra.
Sekitar tahun 1907 sekolah berasrama telah menjadi norma bagi anak-anak tunanetra, dan daftar yang memuat lebih dari 33 sekolah berasrama yang melayani 826 anak laki-laki dan 639 anak perempuan dikatalogkan oleh Wilson.
Pada tahun tersebut juga berdiri College of Teachers of the Blind (CTB) (lembaga pendidikan guru bagi tunanetra), yang melakukan pengujian terhadap guru-guru di sekolah khusus bagi tunanetra dan memberikan diploma kepada mereka yang memenuhi persyaratannya. Memperoleh diploma CTB dalam masa tiga tahun mengajar di sebuah sekolah khusus bagi tunanetra menjadi wajib bagi guru-guru berdasarkan peraturan pemerintah.
Berbagai Bentuk Penyelenggaraan Lain
Sekitar tahun 1930-an berbagai bentuk penyelengaraan pendidikan tersedia untuk berbagai kelompok usia. National Institute for the Blind mendirikan "Sunshine Homes for Blind Babies" (rumah sinar mentari bagi bayi tunanetra) di seluruh Inggris pada tahun 1918, 1923, dan 1924 (College of Teachers of the Blind/National Institute for the Blind [CTB/NIB], 1936). Rumah-rumah ini, yang melayani "anak-anak yang tidak dapat dilayani secara memadai di rumahnya sendiri", menawarkan pendidikan berasrama bagi anak-anak pra-sekolah sedini mungkin. Anak-anak pra-sekolah yang tidak tinggal di Sunshine Home sering mendapat kunjungan dari pekerja sosial yang disebut "home teachers for the blind", satu peranan yang telah berkembang dari "guru membaca kunjung" yang umum pada abad sebelumnya.
College of Teachers of the Blind dan the National Institute for the Blind (CTB/NIB, 1936) merekomendasikan suatu reorganisasi nasional sehingga pendidikan bagi anak-anak tunanetra hanya diselenggarakan oleh sekolah-sekolah yang lebih besar dalam jumlah yang lebih sedikit, yang kesemuanya berasrama. Mereka juga mengusulkan diselenggarakannya taman inderia regional berasrama untuk kanak-kanak di bawah usia lima tahun, dan mempertimbangkan untuk mereorganisasi sekolah-sekolah khusus bagi tunanetra agar sesuai dengan sistem baru yang diberlakukan bagi sekolah-sekolah umum, di mana semua anak akan meninggalkan sekolah dasar pada usia 11 tahun untuk masuk ke sekolah lanjutan dan menengah yang terpisah.
Perang Dunia Kedua mengacaukan rencana pengembangan sistem pendidikan bagi tunanetra itu, dan banyak di antara sekolah khusus di kota-kota untuk sementara waktu dipindahkan ke daerah pedesaan karena alasan keamanan. Tahun-tahun sesudah Perang Dunia Kedua ditandai oleh konsolidasi penyelenggaraan sekolah-sekolah khusus.
Undang-undang Pendidikan (Education Act) 1944 telah meredefinisikan kategori ketunaan dan mencakup untuk pertama kalinya kategori "partially sighted" (kurang awas) yang didefinisikan sebagai "pupils who by reason of defective vision cannot follow the ordinary curriculum without detriment to their sight or to their educational development, but can be educated by special methods involving the use of sight" (siswa-siswa yang karena alasan ganguan penglihatan tidak dapat mengikuti kurikulum biasa tanpa membahayakan penglihatannya atau perkembangan pendidikannya, tetapi dapat dididik dengan metode-metode khusus yang mencakup penggunaan penglihatan).
Antara tahun 1945 dan 1947 empat sekolah berasrama yang sebelumnya mengakomodasi siswa-siswa yang buta maupun kurang awas direorganisasi menjadi sekolah untuk siswa-siswa kurang awas saja. Pada akhir tahun 1940-an, beberapa sekolah khusus bagi tunanetra di bagian utara England direorganisasi menjadi sekolah dasar dan sekolah lanjutan, dan siswa-siswa berganti sekolah pada usia 11 tahun.
Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an terjadi peningkatan yang tak diduga dalam jumlah anak yang buta menurut pendidikan (educationally blind). Anak-anak ini, yang pada umumnya lahir prematur, pada awal masa bayinya mengembangkan satu kondisi yang pada saat itu dikenal dengan istilah "retrolental fibroplasia" (RLF) yang mengakibatkan ketunanetraan yang parah dan kadang-kadang disertai ketunaan lain yang terkait. Pada mulanya penyebab kondisi tersebut hanya sedikit saja dimengerti, tetapi kemudian ditemukan bahwa kondisi tersebut terkait dengan cara-cara pemberian oxygen kepada bayi-bayi prematur. Berkat perbaikan dalam cara pemberian oxygen kepada bayi-bayi prematur, kondisi tersebut sebagian besar dapat diatasi tetapi telah mewariskan sejumlah besar anak tunanetra di sekolah-sekolah berasrama pada tahun 1950-an dan 1960-an.

2. Sejarah pendidikan Tunanetra di Indonesia

Sejarah pendidikan bagi tunanetra di Indonesia dimulai sejak 6 Agustus 1901. Pada saat itu didirikan Yayasan Perbaikan Nasib orang-orang buta (Rumah Buta) oleh DR. Ch. A. Westhoff. Beliau adalah seorang dokter mata berkebangsaan Belanda. Dalam perkembangannya, Rumah Buta dikelola oleh pihak swasta.
Pada tanggal 1 Nopember 1979, berdasarkan surat keputusan (SK) Mentri Sosial nomor 41/HUK/KEP/XI/79 Wiyata Guna merupakan unit pelaksana tehnik kantor wilayah Departemen Sosial propinsi Jawa Barat, dengan nama Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Mata (PRPCM), dan berdasarkan surat keputusan (SK) Direktur Jendral Bina Rehabilitasi Sosial nomor 06/KEP/BRS/IV/1994, maka PRPCM berubah nama menjadi Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wiyata Guna. Pada tahun 2003, berdasarkan keputusan Mentri Sosial nomor 59 /HUK/2003 tanggal 23 Juli 2003 tentang organisasi dan tata kerja PSBN Wiyata Guna Sebagai UPT dibawah Direktur Jendral pelayanan dan rehabilitasi sosial Departemen Sosial Republik Indonesia dengan klasifikasi tipe A. Hingga saat ini, eksistensi PSBN Wyata Guna sebagai PSBN tertua di Indonesia masih dapat dirasakan oleh para tunanetra yang menuntut ilmu bik di lingkungan Wyata Guna itu sendiri atau di Sekolah Luar Biasa yang berlokasi di sekitar lingkungan Wyata Guna atau yang bersekolah dan kuliah di tempat lain namun berdiam di PSBN Wyata Guna.







Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top