Karakteristik Belajar Anak Tunalaras

 
BAB I KARAKTERISTIK BELAJAR ANAK TUNALARAS

Karakteristik berarti ciri-ciri yang menonjol dijumpai pada sekelompok benda, atau manusia. Karakteristik belajar anak tunalaras berarti ciri-ciri belajar yang menonjol yang dimiliki oleh anak tunalaras. Dengan kata lain adalah bagaimana ciri-ciri yang ditampilkan pada anak tunalaras dalam belajarnya. Sebagaimana kelompok khusus anak luar biasa, anak tunalaras memiliki karakteristik tersendiri dalam belajarnya, yang relatif berbeda dengan kelompok anak luar biasa yang lain ataupun anak normal. Perbedaan karakteristik tersebut muncul sebagai akibat dari ketunalarasan yang disandangnya. Diketahui bahwa ketidakmatangan sosial dan atau emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan prilaku dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Secara umum dikatakan bahwa proses belajar akan berlangsung secara optimal, bila salah satu diantaranya ada kesiapan psikologis dari peserta didik. Anak tunalaras karena ketidakmatangan dalam aspek sosial dan atau emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya, sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan terhambat.

Sebagai gambaran tentang bagaimana karateristik belajar anak tunalaras (emotional disturbed) berikut ini disarikan beberapa hal yang diungkapkan oleh Cruickshank (1980) dalam bukunya Psychology of Exceptional Children and Youth.

Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai siswa, maka karakteristik perilaku belajar anak tunalaras tidak jauh berbeda, bahkan sulit dibedakan dengan kelompok anak tunagrahita dan anak berkesulitan belajar, yang membedakan hanyalah bahwa pada anak tunalaras frekuensi lebih tinggi dan selalu tertuju pada perilaku-perilaku maladaptive. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa anak tunalaras pada umumnya memiliki IQ yang rendah, prestasi rendah,dan juga berasal dari kelas sosial yang rendah pula. Mereka juga banyak mengalami kesulitan dalam satu atau lebih bidang studi, seperti membaca dan matematika, serta perilakunya tidak memenuhi harapan sesuai dengan usia dan kemampuannya (Hallahan dan Kaufman, 1977 ; Chary, 1966 ; Kvaraceus, 1961 ; Scarpitti, 1964). Berkaitan dengan karakteristik belajar anak tunalaras menurut Cruickshank paling tidak terdapat tiga isu yang menarik, yaitu :
Pertama, kecenderungan bahwa pada anak tunalaras terdapat kesenjangan antara kemampuan potensial mereka dengan kemampuan yang aktual, atau dengan istilah sederhana cenderung berprestasi dibawah potensinya. Salah satu yang turut mewarnai kesenjangan prestasi tersebut adalah sifat-sifat pribadi dan perilaku anak tunalaras itu sendiri. Hasil studi dari Taylor (1964) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tujuh faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap prestasi anak, yaitu : (1) Kemampuan anak untuk mengatasi kecemasan, (2) Perasaan harga diri, (3) Konformitas terhadap tuntutan otoritas, (4) Penerimaan kelompok sebaya, (5) Kurangnya konflik dan sifat ketergantungan, (6) Keterlibatan dalam aktivitas akademik, dan (7) Kemampuan dalam merancang tujuan yang realistik. Dikatakan bahwa pada anak tunalaras cenderung kurang memiliki beberapa kemampuan diatas. Kedua, bahwa masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunalaras adalah sebagai manifestasi dari problem emosionalnya. Hal ini berarti bahwa problem belajar merupakan faktor akibat dari adanya problem emosional. Ketiga, berkenaan dengan ditemukannya anak-anak berbakat dan kreatif yang juga tunalaras, namun secara dramatik mengalami kesenjangan antara potensi dengan prestasinya. Menurut Kimball (1953, dalam Cruickshank, 1980) rendahnya prestasi belajar mereka berhubungan dengan kesulitan mereka dalam berhubungan dengan orang tuanya, perilaku yang ekstrim pasif, perilaku agresi fisik terhadap benda-benda disekitarnya, dan perasaan rendah diri. Hasil studi lain juga menunjukkan bahwa para guru yang telah bekerja dengan anak pada umumnya menyadari bahwa anak-anak tunalaras pada umunya tidak mampu membaca dan tidak mampu mencurahkan energi yang cukup untuk mempelajari keterampilan tersebut. Bahkan tidak hanya dalam membaca saja tetapi juga dalam hal kemampuan aritmatika. Kondisi ini tidak hanya dijumpai pada anak-anak tunalaras emosi tetapi juga pada anak tunalaras sosial.


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top